Saturday, July 12, 2014

J.K. Rowling, Penulis Harry Potter, Mengadopsi Kisah Islami dalam Karyanya?


Tales of Beedle the Bard

J.K. Rowling, pengarang tujuh seri Harry Potter yang menggemparkan dunia, dalam sebuah wawancara khusus dengan penerbitnya sendiri, Bloomsbury pada 31 Juli 2007, pernah bercerita bahwa cerpennya, “The Tale of Three Brothers” dalam Tales of Beedle the Bard, sedikit banyak terpengaruh oleh kisah “The Pardoner’s Tale” (dalam kumpulan kisah The Canterbury Tales) karya Geoffrey Chaucer (1342-1400).

Hal yang (mungkin) tidak diketahui J.K. Rowling, kisah buatan Chaucer tersebut sangat terpengaruh oleh kisah yang mirip dalam Musibah Nama karya Fariduddin Attar, seorang sufi kenamaan. Menariknya, kisah Chaucer yang mempengaruhi J.K. Rowling ini seolah kehilangan pemaknaan terdalamnya.

Sama seperti kisah apel dan pemanah ulung yang termaktub dalam Musyawarah Para Burung-nya Attar dan dimodifikasi sedemikian rupa di dataran Eropa, terdapat transmisi pengetahuan ilahi yang terputus kala Chaucer mengolah “The Pardoner’s Tale” dari Musibah Nama. Kita tentu tidak perlu mempertanyakan lagi apakah transmisi pengetahuan ilahi tersebut bisa ditemukan oleh J.K. Rowling.

“The Tale of Three Brothers”
Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita menyimak “The Tale of The Brothers”. Dikisahkan, ada tiga bersaudara yang mengembara bersama-sama. Suatu saat, mereka terhenti di tepi sungai yang tak mungkin dilintasi. Seperti halnya kisah lain, ketiga bersaudara itu berhasil menciptakan jembatan ajaib untuk melintas sungai.

Ketika tiba di tengah jembatan, mereka bersua dengan Sang Maut. Sebenarnya Sang Maut menahan amarah karena kehilangan peluang untuk mendapatkan nyawa ketiga bersaudara itu. Namun, ia bersembunyi dalam kedok memikat. Sang Maut justru menawarkan untuk mengabulkan satu permintaan dari masing-masing ketiga bersaudara tersebut.

Si Sulung meminta agar ia selalu menang dalam setiap perkelahian. Si Tengah memohon agar ia mampu membangkitkan seseorang dari kematian. Si Bungsu, seperti dalam kisah-kisah lain, tidak mempercayai Sang Maut. Ia meminta Sang Maut tidak mengikutinya lagi. Alhasil, Sang Maut terpaksa memberikan Jubah Tak Terlihat; seperti yang dimiliki Harry Potter. Setelah ada jaminan bahwa permintaan ketiganya dikabulkan, tiga bersaudara tersebut terpisah.

Si Sulung memang senantiasa tidak terkalahkan dalam pertarungan. Namun, kala ia terlelap, kesadarannya hilang, ia dibunuh. Sementara itu, dengan kemampuannya membangkitkan orang mati, Si Tengah membangkitkan kekasihnya. Namun, sang kekasih tidak bisa hidup sepenuhnya. Ia justru selalu sedih dalam kehidupan keduanya ini. Maka, Si Tengah memutuskan untuk bunuh diri menyusul sang kekasih.

Si Bungsu yang memiliki Jubah Tak Terlihat, selalu selamat dari Sang Maut. Hal ini terus berlangsung sepanjang hidup hingga akhirnya Si Bungsu memberikan jubah tersebut kepada anaknya. Keberhasilan Si Bungsu menyelamatkan diri dari Sang Maut membuatnya kini tenang dalam mengakhiri hidup. Jika kedua kakaknya mengakhiri hidup dengan cara mengenaskan, Si Bungsu tidak demikian. Maka, ia menyambut Sang Maut dengan bahagia.

Kisah di atas memiliki banyak pesan moral. Pertama, hati-hatilah jika bergantung pada orang lain (dalam hal ini memohon sesuatu pada Sang Maut). Kedua, jangan percaya pada seseorang yang sejak awal berniat jahat. Ketiga, mau menghindar ke manapun juga, kematian pasti menjemput seseorang. Jadi, yang mesti dilakukan justru bukan takut pada Sang Maut, melainkan sebagaimana adanya saja.

Sudah disebutkan di muka bahwa “The Tale of The Brothers” terpengaruh oleh “The Pardoner’s Tale”. Kedua kisah ini sama-sama menceritakan tiga orang yang bertemu dengan kematian. Lalu, sejauh apa keterpengaruhan J.K. Rowling?


Ilustrasi The Pardoner's Tale oleh Warwick Goble

Kisah dalam “The Pardoner’s Tale”
“The Pardoner’s Tale” adalah kisah ke-14 dalam The Canterbury Tales. Sebagai pengantar, The Canterbury Tales sendiri berisi kumpulan kisah dari para peziarah yang jumlahnya 30 orang. Mereka berkelana dari Southwark ke Canterbury untuk mengunjungi monumen Santo Thomas Becket di dekat Katedral Canterbury. Ketigapuluh orang ini, termasuk di dalamnya Chaucer sendiri, memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Setiap seseorang selesai bercerita, akan ada orang lain yang dipaksa atau tidak, memberikan cerita yang berbeda dari cerita teman sebelumnya.

Dalam “The Pardoner’s Tale”, dikisahkan ada tiga orang pemabuk (bukan tiga bersaudara) berusia muda yang sepanjang hidup mereka hanya gemar berpesta. Mereka digambarkan telah melakukan semua kejahatan: merampok, mabuk, main wanita, dan sebagainya. Suatu saat, kala sedang minum-minum di sebuah kedai, ketiganya melihat adanya peti jenazah yang diarak; melintas.

Ketiganya bertanya jenazah siapakah itu. Sang pemilik kedai menjawab bahwa jenazah itu adalah rekan ketiga pemabuk tadi. Pemilik kedai itu menerangkan bagaimana rekan ketiga pemabuk itu dicuri napasnya oleh Sang Maut kala ia tidur pasca mabuk. Tersulut oleh rasa kesetiakawanan dan penasaran, ketiga pemabuk itu berniat mencari Sang Maut. Bahkan mereka bersumpah mengikat tali persaudaraan demi mengakhiri hidup Sang Maut agar tidak ada lagi kematian.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang tua, yang compang-camping dan penih derita; yang mengaku selalu ingin menemui Sang Kematian, tapi senantiasa gagal pula. Orang tua bijaksana ini berkata, jika ketiga pemuda tersebut ingin menjumpai Sang Maut, mereka mesti mendatanginya di bawah pohon Oak.

Ketiganya segera berangkat menuju pohon Oak tersebut. Nyatanya, di sana tidak ada apa-apa. Bahkan, yang muncul justru sesuatu yang tidak diduga-duga: emas yang berserakan. Alih-alih fokus pada pencarian mereka, ketiga pemabuk ini lupa daratan. Mereka kemudian memutuskan untuk bermalam di bawah pohon Oak tersebut untuk kemudian pergi bersama emas pada pagi harinya. Namun, mereka membutuhkan makanan dan anggur pula.

Maka, dibuatlah sebuah perlombaan antara ketiganya untuk menentukan siapa yang mesti membeli roti dan anggur. Nasib sial menimpa salah satu yang paling muda. Ialah yang harus ke kota untuk membeli persediaan.

Di tengah perjalanan, niat licik hinggap pada Si Paling Muda ini. Ia ingin memiliki seluruh emas. Maka, ia meminta seorang pembuat obat (apoteker) membubuhkan racun tikus pada roti dan anggur untuk kedua rekannya. Sementara itu, ia berpuas diri dengan roti dan anggurnya sendiri yang tanpa racun.

Namun, tak diduga, kedua pemabuk lain yang menunggu emas juga bersiasat agar Si Paling Muda tidak mendapatkan jatah emas. Keduanya bersepakat untuk membunuh Si Paling Muda begitu ia datang. Alhasil, kala Si Paling Muda tiba di bawah Pohon Oak, dua sahabatnya langsung membunuh tanpa ampun.

Keduanya berpesta membayangkan nikmatnya berbagi emas hanya berdua pada keesokan harinya sambil menenggak anggur beracun. Tentu saja dua pemabuk itu mati seketika oleh racun tikus yang dibubuhkan Si Paling Muda. Di titik inilah ucapan orang tua yang pernah ditemui mereka bukan isapan jempol belaka. Kematian memang ada di Pohon Oak dan menjemput mereka dengan cara yang sama sekali tidak diduga ketiga pemabuk ini. 

Para Pencuri Lain di Daratan Eropa
Kisah yang sangat mirip dengan kisah Chaucer dalam “The Pardoner’s Tale” juga terdapat di berbagai wilayah di Eropa. Misalnya di Italia, Jerman, Prancis, dan Portugal. Di keempat wilayah ini, terdapat perbedaan tentang jumlah pemabuk (atau perampok) yang memperoleh emas. Di Italia dan Jerman, jumlahnya tiga, sama seperti di Inggris, sedangkan di Prancis dan Portugal jumlahnya empat.

Intinya, empat kisah dari empat wilayah ini mengisahkan adanya sekelompok perampok yang mendapatkan emas. Seorang perampok (atau dua orang jika perampoknya empat) diminta membelikan makanan dan anggur di kota.

Namun, perampok yang diutus ini berkhianat dan memberikan racun pada makanan dan anggur tersebut. Sementara itu, rekan-rekannya menyiapkan pembunuhan. Akhirnya, ketiga (atau keempat) perampok tersebut mati terbunuh oleh senjata sahabat masing-masing tanpa sempat mereguk nikmatnya emas.

Di Italia, disebutkan ada tiga perampok: Tagliagambe, Scaramuccia, dan Carapello yang bergabung untuk memulai perjalanan menuju padang pasir. Di sisi lain, terdapat seorang suci, Santo Antonio yang tengah digoda oleh Roh Avarice (Roh Jahat) di padang pasir yang dituju ketiga perampok tersebut. Awalnya, Avarice menciptakan sekumpulan perak agar Santo Antonio berpaling pada nikmatnya mereguk harta. Avarice, barangkali mengambil istilah Jalaluddin ar-Rumi, berkata, “bahkan, senar (penjerat burung) yang demikian ini akan mampu menjerat burung paling bijaksana sekalipun”.

Santo Antonio yang hatinya suci tidak mempan oleh tipuan Avarice; bahkan ketika Avarice menyulap perak itu menjadi tumpukan emas. Godaan berikutnya datang dari setan (Satanasso). Santo Antonio tetap bergeming dan terus berjalan melintas padang pasir.

Suatu saat, Santo Antonio bertemu dengan ketiga perampok tadi. Santo Antonio berkata bahwa ia telah melepaskan diri dari Sang Maut. Penasaran, ketiga perampok itu menelusuri jejak orang suci ini dan menyadari bahwa yang disebut Santo Antonio dengan Sang Maut adalah emas. Tentu saja ketiganya tertawa memperolok kebodohan Santo Antonio yang tidak mau meraup sedikit saja dari sekian emas yang ada di depan mata.

Seperti dalam “The Pardoner’s Tale”, ada salah satu dari ketiga perampok yang mesti membeli makanan. Kali ini, nasib sial jatuh pada Scaramuccia. Ia pergi ke Damaskus dengan niatan menguasai emas sendirian.

Maka, seperti Si Paling Muda dalam “The Pardoner’s Tale”, Scaramuccia mendatangi apoteker, memintanya untuk memberikan racun pada daging dan anggur untuk Tagliagambe dan Carapello. Kedua sahabatnya juga berencana menikmati emas berdua tanpa Scaramuccia. Maka, begitu Scaramuccia kembali, Tagliagambe dan Carapello dengan sigap membunuhnya. Alhasil, kedua orang itu juga mati karena racun tikus sebelum menikmati gelimang emas.

Rahasia “Yesus” dalam Musibah-Nama
Kisah para perampok di Eropa ini seperti yang sudah disebutkan, bersumber pada sebuah kisah dalam kitab Musibah Nama karya Fariduddin Attar. Kisah aslinya sendiri merupakan kisah khas para sufi yang membutuhkan pemahaman dasar untuk mengetahui makna tersembunyinya. Sejauh ini, dari kisah para perampok di atas, barangkali orang yang sibuk mencari pesan moral akan berkata bahwa kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa berbahayanya keserakahan manusia. Para pembuat cerita secara jitu menunjukkan kelemahan manusia pada emas (harta duniawi) yang akan menggiring mereka pada kematian, tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian hati.

Namun, pada Musibah Nama, mungkin kita akan sedikit terkejut. Dikisahkan, Nabi Isa tengah melakukan perjalanan bersama seorang Yahudi. Kala itu Nabi Isa membawa tiga buah roti. Yang pertama dimakan beliau, yang kedua diberikan kepada Si Yahudi, dan yang terakhir disimpan. Ketika Nabi Isa tengah pergi sesaat, Si Yahudi mengambil roti yang disimpan tadi lantas memakannya. Nabi Isa yang menemui roti ketiga hilang, bertanya kepada Si Yahudi perihal roti tersebut. Seperti halnya kaum Yahudi dalam Alquran yang digambarkan ribet dan mudah membantah, Si Yahudi tidak mau mengakui bahwa ialah pemakan roti tersebut.

Nabi Isa sebenarnya mengetahui kelicikan Si Yahudi. Namun beliau tidak langsung menghakimi. Nabi Isa ingin pengakuan jujur dari sang teman seperjalanan. Mereka pun melanjutkan pengembaraan hingga tiba di pantai. Di sinilah Nabi Isa kembali menanyakan roti yang hilang. Si Yahudi menyergah dan balik mempertanyakan sikap Nabi Isa yang tidak mau mempercayai ucapannya. Saat itulah muncul seekor rusa dari kejauhan yang kemudian rusa ini disembelih. Nabi Isa dan Si Yahudi menyantap rusa tersebut hingga yang tersisa hanyalah tulang. Nabi Isa menyatukan tulang-tulangnya dan secara ajaib rusa itu kembali hidup. Setelah menampilkan mukjizat menghidupkan makhluk yang telah mati ini, Nabi Isa kembali mempertanyakan roti yang hilang. Si Yahudi tetap saja berkeras untuk tidak mau mengakui.

Akhirnya, Nabi Isa mengambil tiga genggam tanah dan berkat kebesaran Allah tanah itu menjadi emas. Nabi Isa berkata bahwa emas pertama untuk beliau, emas kedua untuk Si Yahudi, dan emas terakhir untuk pemakan roti yang entah siapa itu. Saat inilah Si Yahudi baru mengakui bahwa ialah pemakan roti. Dengan demikian, ia akan mendapatkan dua dari tiga emas tersebut. Nabi Isa menganggap Si Yahudi gagal dalam ujian kejujuran. Maka beliau meninggalkan Si Yahudi dan berkata bahwa beliau tidak membutuhkan apa pun, termasuk emas. Betapa girangnya Si Yahudi karena ia mendapatkan tiga emas meski seharusnya ia hanya memiliki satu.

Tak lama setelah kepergian Nabi Isa, muncul dua orang yang menginginkan emas tersebut. Tentu saja Si Yahudi tidak mau memberikan emas yang didapatnya tadi. Setelah beradu urat leher, ketiga orang itu akhirnya bersepakat untuk membagi ketiga emas tadi secara adil. Namun, karena lapar, diputuskanlah salah satu dari mereka untuk membeli makanan di kota.

Si Yahudi berangkat dan membeli roti. Ia memakan roti untuk dirinya sendiri sedangkan dua roti untuk dua pendatang tadi dicampur racun. Sementara itu, seperti dalam kisah-kisah yang terpengaruh kisah ini, dua orang pendatang tadi bersepakat untuk membunuh Si Yahudi. Pada akhirnya, ketiga orang yang memperebutkan emas tersebut tewas dengan mengenaskan. Si Yahudi yang sejak awal berniat curang hanya untuk masalah sepotong roti, kini mati sebelum mendapatkan (satu saja) emas yang semestinya sudah menjadi haknya.

Menyulap Tanah Menjadi Emas
Apakah kisah dalam Musibah-Nama ini hanya memiliki pesan moral tentang keserakahan manusia yang berbahaya semata? Kita perlu melihat bagaimana Nabi Isa mengubah tanah menjadi emas. Dalam tradisi sufi, pengubahan sebuah benda menjadi emas bukan hal baru; apalagi tanah. Manusia sendiri (yang belum mendapatkan pengetahuan ilahi) sering didefinisikan sebagai tanah oleh para sufi.

Peristiwa “menyulap” tanah biasa menjadi emas bukanlah perkara mukjizat. Peristiwa ini adalah perumpamaan tentang pengubahan seorang manusia biasa; yang awalnya masih terjebak pada sifat-sifat tidak mulia (sifat tanah) menjadi manusia sempurna yang memilki sifat seperti logam mulia (emas). Jadi, Si Yahudi tidak hanya semata-mata terpukau oleh gelimang emas. Ia terkesima melihat bagaimana manusia sempurna mewujud dalam sosok Nabi Isa. Maka, Si Yahudi yang masih mudah terpukau oleh sesuatu yang ajaib ini melakukan cara-cara yang seolah sama dengan cara yang dilakukan Nabi Isa. Sayangnya, Si Yahudi hanya meniru perilaku Nabi Isa pada tataran luar. Ia hanya ingin menjadi manusia emas tanpa mau berusaha menjadi hal yang ditujunya.

Alih-alih berhasil menjadi manusia emas, tingkah laku Si Yahudi justru memancing kemunculan dua orang pendatang; orang yang tidak mengetahui apa pun tentang manusia emas dan hanya mendengar dari berita demi berita. Dua orang pendatang ini bisa jadi mengibaratkan umat beragama yang datang belakangan; yang memeluk agama setelah ditinggal pembawa risalahnya tanpa mau menggali lebih dalam tentang agama tersebut. Dua orang pendatang ini menunjukkan betapa berbahayanya orang yang hanya sebatas taklid buta pada “agama” karena “agama” yang mereka anut tidak semurni agama yang diajarkan oleh pembawa risalah (nabi).

 Nabi Muhammad saw. sendiri sudah memperingatkan bahaya kemunculan orang-orang seperti dua pendatang ini. Sabda Rasulullah, “Akan tiba masanya ketika tidak ada yang tersisa dari Islam selain namanya; dan tiada yang tersisa dari Alquran kecuali wujudnya (tidak pernah dibaca). Tempat ibadah akan kehilangan pengetahuan dan maksud ibadah; orang-orang yang tahu akan menjadi manusia terburuk di bawah langit; Pertikaian dan perselisihan akan didengungkan dari mereka dan akan dikembalikan pada mereka.”

 Di sisi lain, Rasulullah juga menerangkan bahwa penentang Islam, orang-orang yang sok mengetahui agama, bahkan kadang “melawan” sunnah beliau. Sabda beliau, “Perumpamaan diriku (Nabi Muhammad saw.) adalah bagaikan seorang laki-laki yang menyalakan api, lalu mulailah laron-laron dan serangga-serangga (umat manusia) mengerumuni api. Laki-laki tersebut mencegat laron dan serangga-serangga tadi, jangan sampai terpanggang dalam api. Aku akan selalu menarik kalian dari belakang, jangan sampai kalian tertimpa kemalangan demikian, tetapi ada di antara kalian yang memberontak lepas dari tanganku.”

Kembali pada Si Yahudi dan dua pendatang, sikap mereka yang memperebutkan emas dan berakhir dengan kematian bisa dipahami sebagai kegagalan mereka menjadi manusia emas. Karena terfokus pada keajaiban-keajaiban atau prinsip orang yang berpengetahuan ilahi mesti begini dan begitu, mereka melupakan esensi ketulusan dan kemurnian hati. Alhasil, manusia emas tidak didapat, bahkan mereka kemudian mati mengenaskan. Ruh mereka gagal mendapatkan asupan yang baik selama di dunia dan menjelma menjadi ruh gelap; yang tidak bisa menampung Cahaya Allah di Hari Akhir ketika tidak ada cahaya lain selain cahaya-Nya.

Bagi orang yang berada di luar lingkaran Islam, degradasi pemahaman tentang konsep “tanah menjadi emas” adalah keniscayaan karena mereka tidak terbiasa mengenal Islam. Namun, bagi orang Islam, jika mereka kurang mengenal kisah-kisah semacam ini, yang polanya tersebar di mana-mana, tentu kelemahan membaca kisah ini (hanya terfokus pada pesan moralnya saja) bisa dikatakan menunjukkan seberapa jauh keislamannya.

Bencana Pengetahuan
Kembali pada J.K. Rowling yang terinspirasi oleh Geoffrey Chaucer (dan Chaucer terpengaruh oleh Fariduddin Attar), “The Tale of Three Brothers” menunjukkan betapa Islam pernah memasuki Eropa sedemikian rupa sehingga cerita-cerita para sufi disimpan dan diolah oleh orang Eropa dengan cara mereka sendiri. Perubahan drastis dari sebuah kisah penuh pengetahuan ilahi menjadi kisah penuh pesan moral juga menunjukkan bahwa ilmu hanya bisa digunakan dengan tepat oleh orang yang mengetahuinya.

Seperti para perampok dalam “The Tale of Three Brothers” , “The Pardoner’s Tale”, Tiga Perampok di Italia, dan Si Yahudi dalam Musibah Nama, kadang dalam mempelajari agama (Islam) dan Alquran, kita melakukan hal serupa. Kita terfokus pada kekakuan pendapat ulama dan melupakan bahwa Alquran memiliki jenjang makna yang bertingkat sesuai dengan keadaan spiritual kita. Sabda Rasulullah, “Bencana pengetahuan adalah ketika pengetahuan dilupakan; dan penyia-nyiaannya adalah ketika berbicara pada orang yang tidak memahami.” Kita bisa menduga sendiri apakah bencana tersebut sudah menimpa umat Islam sekian ratus tahun atau belum.

DAFTAR PUSTAKA

Chaucer, Geoffrey. 2007. Canterbury Tales (penerjemah ke bahasa Inggris Modern A. S. Kline). Diambil dari e-chaucer.com pada Sabtu, 28 Mei 2011 pukul 01:37 WIB.

Furnivall, F.J., Edmund Brock, dan W.A. Clouston. 1888. Originals and Analogues of Some of Chaucer’s Canterbury Tales. London: N.Trubner & Co.

Rowling, J.K. 2008. The Tales of Beedle the Bard. London: Children’s High Level Group

Rumi, Jalaluddin. 1888. Masnavi I (penerjemah ke dalam bahasa Inggris E.H. Whinfried). Diambil dari sacred-texts.com

No comments:

Post a Comment