Friday, May 15, 2015

L'Arc~en~Ciel Hoshizora Lyrics Translation [Indonesia Version]




L'Arc-en~Ciel Hoshizora lyrics translation - I'm back!! Agustus 2014 kemarin, saya bongkar-bongkar file terjemahanlama. Kebetulan dapet lirik lagu L'Arc~en~Ciel yang judulnya 'Hoshizora' (Langit Bergemintang), dan terdapat di album AWAKE (2005) sebagai track ke-11. Lirik ini pernah saya tulis di blog saya yang di sebelah, juga pernah dimasukin ke forum Larcology.

Here we go! Sesuai dengan tema utama album AWAKE yang menyuarakan semangat anti perang, 'Hoshizora' menggambarkan kepedihan kala perang usai. Hyde menggambarkan sebuah kota yang porak poranda, nyaris tak bersisa. Tokoh 'aku lirik' berdiri di atas pepuingan, memandang langit bergemintang dengan penuh kegamangan. Kota kelahirannya sudah tidak berpengharapan lagi.

Tokoh 'aku lirik' yang melihat segalanya bagai mimpi buruk, membayangkan kekasihnya yang tinggal di kota seberang. Sebuah kota impian yang tercitra pada senyum sang kekasih dalam potret. Sebuah kota penuh pengharapan, yang jauh berbeda dengan kota yang ditinggalinya.

Dalam perasaan campur aduk, tokoh 'aku lirik' berharap suatu ketika perang akan benar-benar berakhir. Hanya melalui cara itulah ia bisa bersatu dengan sang kekasih. Hanya melalui cara itu pulalah ia bisa melihat langit bergemintang yang berbeda. Bukan langit yang berada di atas pepuingan, darah, dan air mata. Melainkan langit bergemintang yang menumpahkan kebahagiaan bagi siapa pun yang melihatnya.

Hoshizora - Langit Bergemintang
Music: hyde /Words: hyde

Kanji & Romanji

揺らめく陽炎は夢の跡 闇を恐れて眠り行く街  
小さな喜びは瓦礫の上 星を見る僕は此処で生まれた

yurameku kagerou wa yume no ato
yami wo osorete nemuri yuku machi
chiisana yorokobi wa gareki no ue
hoshi wo miru boku wa koko de umareta

Nobody knows. Nobody cares.
I have lost everything to bombs.

ねえ 鮮やかな夢見る世界へと 
目覚めたら変わっていると良いな

Nee azayakana yume miru sekai e to
mezametara kawatte iru to ii na

窓辺に貼ってある君の街 そこはどれくらい遠くに在るの?
Madobe ni hatte aru kimi no machi
soko ha dore kurai tooku ni aru no?

Nobody knows. Nobody cares.
They just took everything I had.

ねえ 穏やかな笑顔の君が居る
写真の中駆け出して行きたいな
nee odayaka na egao no kimi ga iru
shashin no naka kakedashite iukitai na

Nobody knows. Nobody cares.
I have lost everything to bombs
(Nobody knows. & Nobody cares. Don’t say good bye )

ねえ 降りそそぐ夜空が綺麗だよ  
いつの日か君にも見せたいから
目覚めたら変わっていると良いな
争いの終わった世界へと
nee furisosogu yozora ga kirei dayo
itsu no hi ka kimi ni mo misetai kara
mezametara kawatte iru to iina
arasoi no owatta sekai e to

Terjemahan
Gejolak embus kerontang berupa jejak mimpi
Tercekam pekat, kota terlelap

Kebahagiaan singkat di puncak pepuingan
Kutatap bintang gemintang di sini, tanah kuterlahir

Tak seorangpun tahu, tak seorangpun peduli
kutelah kehilangan segala yang diledakkan

Ketika tiba waktu kuterjaga, kuingin apa yang berada di sini telah berganti
Menuju dunia penuh mimpi yang menyala gemerlap

Kotamu tercitra pada jendelaku
Seberapa jauhkan dari tanah ini?


Tak seorangpun tahu, tak seorangpun peduli
Mereka merampas segala yang kupunya

Engkau dengan senyuman lembut, berada di [kota kejauhan] sana
Kuingin berlari berbaur bersamamu dalam potret itu

Tak seorangpun tahu, tak seorangpun peduli
kutelah kehilangan segala yang diledakkan

Satu saat kelak ingin kutunjukkan padamu
Indahnya langit malam yang tertumpah
Jika tiba waktu terjaga, kuingin apa yang berada di sini telah berganti
Menuju dunia saat pertikaian telah usai

VAMPS - Vampire's Love Lyrics Translation [Indonesia Version]




VAMPS: Vampire's Love lyrics translation - Yeah, di tengah malam yang agak galau ini, akhirnya saya bisa merampungkan terjemahan bebas salah satu lagu VAMPS di album ketiga mereka, Sex Blood Rock N' Roll (2013). Sengaja memilih lirik "Vampire's Love" karena kayaknya yang paling mudah diterjemahkan (kekekeke~ ketawa gaya Hiruma), dan lagunya mellow.

Kisah dasar Vampire's Love sepertinya adalah cinta seorang vampir yang nggak kesampaian, ngenes banget. Dia tinggal di dunianya yang nggak bisa menembus terang matahari, sementara sang kekasih adalah manusia biasa. Yang bisa dilakukan si vampir ini cuma mengenang masa-masa silam, dan melihat kekasihnya dari kejauhan. 

Dan seperti yang biasa disampaikan HYDE dalam lirik-liriknya selama ini, cinta si vampir 'sangat murni sekali'. Dia mencitrakan sang kekasih sebagai sosok 'yang lebih berharga daripada siapa pun' dan 'bagai tak akan pernah ternodai [dosa].'. 

Tapi, seperti biasa juga, ada beberapa bagian yang saya utak-atik untuk memperindah terjemahannya. Misalnya, di bagian awal saja, ketika menjelaskan 'senyum indah yang menyilakukan", saya tambahi saja "bersemayam" untuk dilanjutkan ke kalimat berikutnya "jauh di dalam hati ini". Terus bagian "pergi ke seberang matahari" (jika diterjemahkan kata per kata", saya ubah menjadi "melintas malam menuju matahari".
 

Oke, ini dia lirik Vampire's Love terjemahan versi saya.

Vampire's Love
Music and Lyric : HYDE

romanji
まぶしい可憐な笑顔は
この僕には遠く…
Mabushii karen'a egao wa
Kono boku ni wa tooku

日差しの向こうへ行けたら
君に何の話をしただろう?
Hizashi no mukou e iketara
Kimi ni nani no hanashi o shitadarou?

ねぇ こうして君を想うだけで
この胸は煌めいてたよ.. あのころ
Nee koushite kimi o omou dake de
Kono mune wa kirameitetayo.. ano koro

このままでいい…
澄んだ空 曇らないように
僕は触れず見守っていた ずっと
Kono mama de ii..
Sunda sora kumoranaiyouni
Boku wa furezu mimamotte ita zutto

ねぇ こうして君を想うだけで
この胸は煌めいている いまでも いまでも
Nee koushite kimi o omou dake de
Kono mune wa kirameite iru, ima demo

誰より何よりも大切だから…
汚さないよう
Dare yori nani yori mo taisetsu dakara..
Yogosanaiyou..

ただそっとガラス越しに言った
届かない 「愛しているよ」
Tada sotto garasu-goshi ni itta
Todokanai "aishiteiruyo"

こうして君を想うだけで
この胸は煌めいている.. いまでも
Koushite kimi o omou dake de
Kono mune wa kirameite iru, ima demo

Terjemahan bahasa Indonesia:

Senyum manis berkilaunya
Bersemayam jauh di dalam  diri ini ...

Jika mampu menyeberang malam menuju terang matahari
Adakah hal yang bisa kuceritakan kepadamu?

Wahai, hanya membayangkanmu demikian saja
Jantung ini berkerlipan, layaknya hari-hari lampau

Masih saja aku ...
Berkhayal langit cerah tidak berkabut
Selamanya hanya mampu memandang
Tanpa bisa menyentuhnya

Wahai, hanya membayangkanmu demikian saja
Jantung ini masih berkerlipan, hingga kini ...

Lebih berharga daripada apa pun,
Lebih berharga daripada siapa pun
Engkau, yang bagai tak pernah ternoda

Dari balik cermin ini, terucap lembut
Kalimat "aku cinta kau" yang tak mungkin menggapaimu

Wahai, hanya membayangkanmu demikian saja
Jantung ini masih berkerlipan, hingga kini ...

Tuesday, August 26, 2014

Ketika Anda Harus Menjadi Pemain Cadangan



Ketika pertama kali mendunia, Bojan Krkic langsung dipuja-puja. Pemain berdarah Serbia ini digadang-gadang sebagai calon bintang Barcelona. Betapa tidak? Di ujung musim panas tahun 2007, dia memecahkan dua rekor sekaligus. Dia adalah pemain termuda yang tampil untuk Barcelona di Liga Champions. Bojan juga tercatat sebagai pencetak gol paling belia bagi klub tersebut di Liga Spanyol. Ketika itu, Bojan baru beberapa hari merayakan ulang tahun ke-17.

Yang terjadi dalam enam musim berikutnya, tidak pernah terbayangkan. Bojan yang lincah, harus menyerah. Ia terpental dari persaingan. Bukannya menjadi pemain inti sejajar dengan Lionel Messi, pria mungil ini harus pergi. Dia dipinjamkan ke Roma, Milan, dan Ajax sebelum akhirnya hijrah ke klub papan bawah Liga Inggris, Stoke City.

Bojan tidak mungkin bersaing. Barcelona terus membeli penyerang-penyerang istimewa dengan penjualan kaus mendunia. Zlatan Ibrahimovic, David Villa, Alexis Sanchez, Neymar, hingga terakhir Luis Suarez bukan levelnya.

Di luar sana, orang lain membuat kejutan di Austria. Namanya Jonathan Soriano. Sama seperti Bojan, dia pernah mencicipi rasanya bergabung di Barcelona. Perbedaannya, Soriano bukanlah superstar.

Walaupun sempat menjadi raja pencetak gol, hal itu dicatatkannya di Liga Spanyol Divisi Dua. Ketika hijrah dari Barcelona B, pemain kelahiran 1985 ini tak sempat menikmati puji-pujian media. Tahun 2012, ketika Bojan masih mengais mimpi bisa tampil untuk tim utama Barcelona, Soriano melakukan sebuah langkah; yang barangkali setara dengan langkah pertama Neil Armstrong di bulan.

Jonathan Soriano pindah. Dia tidak mencari klub elite yang satu level dengan Barcelona. Dia juga tidak bergabung ke tim-tim lain iga Spanyol yang biasa dibantai klub lamanya. Soriano memilih Red Bull Salzburg, juara Liga Austria.

Dalam sekejap nama Soriano terbang, melesat ke awang-awang. Statusnya sebagai mantan pemain Barca, ketajamannya yang makin menggila, dan tingkat kompetisi yang lebih rendah, membuatnya menjadi 'bintang'. Ia jelas tidak akan pernah sejajar dengan Lionel Messi. Ia bahkan tak akan sama dengan Bojan. Tetapi pilihan Soriano pergi ke liga dengan kasta lebih rendah, membuatnya menggenggam sesuatu yang hingga kini tak didapati Bojan.



Ada saatnya kita berada di simpang jalan. Hendak menjadi Soriano, atau Bojan. Bertahan di sebuah keadaan yang menuntut persaingan tinggi, atau 'turun kasta' ke level yang sesuai dengan kemampuan. Menjatuhkan diri seperti Soriano, seolah menjadi satu-satunya jalan. Untuk apa bertarung di medan yang sengit, jika ternyata bisa mengambil untung lebih banyak di medan yang lebih ringan? Para Soriano adalah mereka yang ingin menang. Orang-orang yang memahami, diam dan sabar tidak akan cepat mengubah keadaan. 

Di sisi lain, berkutat di tempat yang penuh persaingan, akan lebih menyakitkan. Ada risiko, kita tidak akan pernah menjadi pemain utama. Ada risiko, sepanjang hidup nanti kita cuma pemain cadangan. Pemain yang cuma keluar di menit-menit akhir, yang digunakan pelatih hanya untuk mengamankan skor pertandingan.

Tapi, menjadi Bojan --walaupun akhirnya terlempar ke level yang lebih bawah--- adalah (juga) cara seorang pemenang. Cara mereka yang mau memahami, tidak ada yang namanya keterbatasan. Cara mereka yang menyadari, suatu saat kerja keras luar biasa akan dijawab Tuhan. Bahkan meski jawaban itu lebih misterius daripada kehidupan.




Saturday, July 12, 2014

Athletic Bilbao, Klub Anak Kampung

Iker Munian, Ikon Terpenting Athletic Bilbao Dekade Ini (Melepas Baju)
 
“Kami juara berkat 11 pemuda kampung,”
Enrique Guzman, presiden Athletic Bilbao
saat memenangi Copa del Generalisimo 1958 atas Real Madrid

Sejarah panjang Basque hanya mengenal keberanian. Para lelaki perkasa yang terlahir di tanah ini telah berperang dengan semua musuh yang hendak menjarah. Romawi, Viking, hingga Jenderal Franco. Tak ada satupun yang bisa memadamkan api keberanian itu. Dan, keberanian pula yang tergambar nyata dari Athletic Bilbao, klub yang masih ngotot hanya menurunkan pemain berdarah Basque di era kala sepakbola identik dengan uang dan gelar semata.

Klub Paling Bebal Abad XXI
Dekade 2000-an dalam sejarah sepakbola akan dikenang sebagai dekade ketika uang bisa mengubah sebuah klub menjadi jawara. Para pebisnis berbondong-bondong membeli sebuah klub, lalu menggelontorkan dana tanpa batas untuk memborong gelar demi gelar.

Semisal, Roman Abramovich yang membeli Chelsea pada musim panas 2003. Tahun pertama saja, juragan minyak itu mengeluarkan 121 juta poundsterling untuk mendatangkan para ‘mercenary’ (tentara bayaran/ mata duitan), demikian kata orang-orang sinis.

Demikian pula yang dilakukan oleh Syeikh Mansour yang menggenggam Manchester City sejak September 2009. Dalam dua tahun awal kekuasaan sang syeikh, lebih dari 200 juta poundsterling dihabiskan untuk mengejar pemain. Hasilnya, The Citizens yang sempat berkutat di jurang degradasi, bisa menjadi kampiun Liga Inggris hanya tiga tahun kemudian.

Syeikh Al-Thani yang mengambilalih Malaga dan Qatar Investment Authority (QIA) yang menyuntik PSG juga termasuk dalam kategori ini. Mereka yakin, para pemain yang datang dari berbagai belahan dunia, yang tidak terlalu mengetahui latar belakang klub, dengan bayaran selangit, dapat melakukan segalanya.

Adalah sebuah keunikan, kalau tidak bisa disebut kebebalan, di sebuah klub bernama Athletic Bilbao, terjadi kenyataan yang bertolak belakang. Mereka masih mengandalkan para pemain yang berlatar belakang Basque.

Bahkan ketika klub-klub tetangga dekat sekaligus rival sengit Athletic, seperti Real Sociedad dan Osasuna, sudah memainkan sederetan pemain internasional. Hasilnya, pada musim panas 2009, ketika Cristiano Ronaldo memecahkan rekor sebagai pemain belian termahal dengan harga 80 juta poundsterling (dari Manchester United ke Real Madrid), rekor berikut masih berlaku untuk Athletic: pembelian termahal klub ini adalah 10 juta poundsterling, terjadi atas nama Roberto Rios dari Real Betis; dan hal tersebut terjadi pada tahun 1997! Ya, untuk juara Liga Spanyol delapan kali, uang bukanlah segalanya.

Anti Tentara Bayaran
Musim panas 2012, tiga tahun setelah hingar bingar Cristiano Ronaldo, kegelisahan tengah menimpa penyerang lain. Dialah Fernando Llorente yang memasuki tahun kedelapan berseragam Athletic Bilbao. Ia berada di simpang jalan. Llorente tergiur bermain di Liga Champions. Untuk seorang pria jangkung jago duel udara yang hingga kala itu sudah mencetak 100 gol bagi Athletic, cita-cita ini adalah hal wajar. Athletic terus terjebak dogma ‘hanya memainkan pria berdarah Basque’ sementara zaman hanya mau mengenal uang. Mustahil bagi klub Bilbao tampil di kompetisi terbesar antar klub Eropa. Solusi akhir: pindah ketika kontraknya berakhir pada 30 Juni 2013.

Seorang pemain berpindah klub untuk meraih gelar adalah hal lumrah. Gabriel Batistuta, pahlawan Fiorentina, klub Italia, pernah melakukannya pada tahun 2000. Ia berseragam AS Roma dan mendapatkan scudetto di klub ibukota tersebut. Tapi, dunia Athletic bukanlah dunia klub lain.

Anda berlaga bukan untuk dibayar. Kostum yang bersimbah keringat, adalah simbol nilai-nilai hidup rakyat Basque: keberanian, kebanggan, dan ikatan kuat. Siapa pun yang ‘melecehkan’ hal ini harus menerima hukuman. Sepanjang musim 2012-2013, Fernando Llorente pun menghabiskan masa-masa mencekam. Ia duduk di bangku cadangan, kalah bersaing dari penyerang lain, Aritz Aduriz. Juga, menerima ejekan “Llorente antek Spanyol! Mati saja kau” bahkan ketika latihan pramusim baru saja dimulai.

Ya, di tanah Basque, segala bentuk pengkhianatan, akan dilabeli gelar ‘antek Spanyol’. Mereka yang terlahir di sini, belum lupa sejarah kelam yang dilakukan oleh Jenderal Franco, diktator yang pernah memaksakan agenda melenyapkan segala hal yang tidak pro kesatuan Spanyol.

Jangankan hengkang dari klub. Jika para pemain Athletic terlihat loyo di lapangan; tak menampilkan kegagahan yang merupakan ciri khas pria Basque, siap-siaplah mendengar yel-yel “No son leones, son maricones" alias “(Kamu) bukan singa, tapi seorang gay”. Ada sebuah pepatah, bahwa seorang pria Basque tidak mengenal kata “tidak mungkin”.

Dan ini berlaku pada setiap napas klub. Entah yang dilawan adalah dua raja seperti Barcelona dan Real Madrid, entah klub tengah dalam krisis keuangan akut, penampilan prajurit Athletic haruslah sedahsyat kala nenek moyang mereka bertempur mempertahankan tanah ini dari invasi para ‘penjajah’.

Singa-Singa Perkasa Pelinding San Mames
Loyalitas. Inilah yang harus dijunjung sampai mati oleh pemain Athletic Bilbao. Mereka ditakdirkan untuk berlaga di stadion San Mames yang memiliki julukan keramat ‘La Catedral’. Dekat tempat yang mampu menampung 40000 penonton ini, berdirilah gereja San Mames yang konon menyimpan relik Santo Mammes.
Dia adalah santo yang menjadi martir pada abad III Masehi kala masa kekuasaan Romawi. Kesucian hatinya, membuat penguasa sekalipun tak mampu memberikan hukuman mati untuk sang santo. Ia pernah dilemparkan ke gelanggang berhadapan dengan para singa; namun hewan-hewan buas ini tak menjadikannya santapan. Justru, tunduk dan menjadi pelindung Santo Mammes.

Demikian pula yang ditanamkan untuk prajurit Athletic Bilbao. Mereka berlaga di lapangan untuk menjadi singa ---julukan mereka, Los Leones--- demi menjaga kesucian Katedral San Mames dari serbuan klub-klub yang diutus untuk menjajah stadion ini, mulai dari Real Madrid, Barcelona, hingga dua tetangga sebelah, Real Sociedad dan Osasuna.

Loyalitas pulalah yang membuat kebijakan Athletic yang dibangun sejak lama, tak jua luntur termakan zaman. Memang, klub ini didirikan oleh campur tangan orang Inggris. Memang pula, dalam perjalanan awal, ada pemain-pemain asal negeri Ratu Elisabeth yang berlaga untuk Athletic. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, sejarah ini terlupakan. Berganti dengan jargon ‘hanya memainkan mereka yang berdarah Basque’.
Entah itu pemain jebolan akademi sendiri, mereka yang telah menikmati sepakbola di tanah Basque, atau mereka yang masih keturunan Basque meski berasal dari negeri yang jauh.

Maka, tak aneh jika nama Jonas Ramalho muncul. Dia adalah pria kulit hitam pertama yang tampil untuk Athletic. Ayahnya orang Angola, sementara ibunya berdarah Basque. Wajar pula bila seorang Bixente Lizarazu, bek kiri Prancis yang juara di Piala Dunia 1998, bisa bermain di Athletic karena memiliki garis darah Basque. Nasib yang sama juga terjadi pada seorang Fernando Amorebieta yang membela Venezuela. Seiring perjalanan waktu, banyak klub yang mengalah pada kenyataan dan uang, tapi Athletic Bilbao seperti hidup di dunia mereka sendiri dan menerjang apa pun yang terjadi dengan ‘darah Basque’ yang bergolak di dada.

San Mames memang tidak selamanya bertahan. Seiring dengan perjalanan waktu, klub merasa perlu membuka stadion baru dengan daya tampung lebih raksasa. ‘Terkuburlah’ tempat yang pernah dibuka pada Agustus 1913 tersebut per musim 2012-2013. Terkubur pula kenyataan sebagai stadion tertua di Spanyol.
Dalam rentang 100 tahun, San Mames menjadi saksi deretan laga para pejuang Athletic. Dari yang termanis, hingga yang paling pahit. Di tempat inilah mereka memastikan gelar juara La Liga pertama untuk klub pada musim 1929-30, ketika membekap Barcelona 4-3. San Mames juga memantulkan sorakan bergemuruh kala Agustin Gainza, salah satu legenda klub, mencetak 8 gol untuk mencukur Celta Vigo 12-1 di Copa del Generalisimo 1947.

Tapi, di sini pula Los Leones terkubur ketika dibantai Osasuna 1-8 di Liga Spanyol musim 1958/59. Dan, salah satu laga paling menusuk, adalah kala Athletic menang 2-1 dari Juventus di final Piala UEFA 1977. Mereka berhasil menekuk Nyonya Tua asal Italia. Sayang, singa-singa San Mames tetap gagal memegang trofi karena kalah agresivitas gol tandang. Juventus menang 1-0 di leg pertama di Comunale, dan itu mematahkan satu-satunya kesempatan Athletic menjadi kampiun Eropa di stadion sendiri; dalam rentang 100 tahun.

San Mames akhirnya diistirahatkan oleh zaman. Berganti dengan San Mames Barria sejak musim 2013-2014 dengan kapasitas 55.000 penonto. Namanya tetap sama, dan pria-pria berahang kokoh dan bertubuh tegap khas Basque akan tetap melindungi San Mames baru dari invasi musuh. Madu dan racun pasti tertuang di stadion baru ini. Apalagi dengan kebijakan hanya memakai darah Basque yang terus bertahan. Athletic tak perlu khawatir. Mereka memiliki salah satu fans sepakbola terbaik yang pernah menghirup udara dunia.

Perahu Kecil Yang Menghancurkan Kota Industri

Loyalitas pemain dan klub telah terbukti lewat aliran waktu. Loyalitas lain yang jauh berlipat lebih hebat, datang dari fans. Memang, seperti klub-klub besar di daratan Eropa lain, Athletic punya sejarah untuk dibanggakan. Mereka adalah salah satu dari tiga klub La Liga yang belum pernah mencicipi Segunda Division, di samping Barcelona dan Real Madrid. Athletic juga pernah mencatatkan kemenangan terbesar ketika menggebuk Barcelona 12-1. Pemain besar pun tak terhitung menghuni klub ini.

Setiap tahun, pencetak gol terbanyak La Liga akan mendapatkan gelar pichichi. Gelar ini sendiri terinspirasi dari seorang pemain bernama sama, Pichichi alias Rafael Moreno Aranzadi. Dialah pria yang mengantarkan empat gelar Copa del Rey untuk Athletic. Ada pula Telmo Zarra yang memegang rekor pencetak gol terbanyak dalam semusim di Liga Spanyol (40 gol) sebelum datangnya era Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Seorang Andoni Zubizarreta, salah satu kiper terbaik Spanyol sepanjang masa, juga pernah mencicipi manisnya San Mames. Demikian seterusnya, hingga kemudian datang generasi emas sejak awal dekade 2010-an seperti Markel Susaeta, Iker Muniain, Mikel San Jose, dan Jon Artenetxe.

Namun, kebanggaan fans lebih daripada sekadar gelar dan uang. Trofi terakhir didapatkan pada musim 1983-84. Ketika itu Los Leones meraih Liga Spanyol dan Copa del Rey sekaligus. Selebihnya, sudah 30 tahun lebih fans mengenal sakitnya tumbang di partai puncak, atau dibantai habis-habisan oleh klub-klub dengan modal uang dan pemain besar. Bahkan dalam dua musim beruntun (2005/06 dan 2006/07) Los Leones sempat berjuang lolos dari zona degradasi hingga pekan terakhir kompetisi. Hal yang membuat fans menyebut masa-masa suram ini sebagai ‘El Bienio Negro’ (Dua tahun hitam).

Artinya, masalah pulang dari San Mames dengan kekecewaan menggumpal, bukan hal baru. Tapi, jangan lupakan. Ini tanah Basque. Di tempat ini, rasa solidaritas dan kepercayaan diri mengalahkan segalanya. Kebanggaan menyaksikan Athletic, membuat fans tak goyah. Dunia bagi mereka telah tergambar, dunia menyaksikan singa-singa perkasa bertempur; dan itu lebih dari sekadar cukup.

Masalah fanatisme, tak perlu dipertanyakan lagi. Di berbagai tempat di Bilbao, masih terpajang foto kepulangan para pahlawan Athletic ketika berhasil menggenggam trofi terakhir mereka, Copa del Rey 1983-84. Foto tersebut demikian heroik, singa-singa penjaga San Mames harus menjalani partai final di Santiago Bernabeu, Madrid, menghadapi Barcelona. Gol tunggal Endika Guarrotxena menyelesaikan laga 100 ribu penonton itu. Kembali ke kampung halaman, para pahlawan menempuh perjalanan ‘tak biasa’.

Dengan menumpang perahu melintas aliran sungai, mereka disambut sebagai raja. Mereka bagaikan ‘meninju’ pemandangan di belakang perahu tersebut, gedung-gedung menjulang khas dunia industri. Foto hitam-putih ini juga yang memercikkan api heroism pasukan Basque di masa-masa mendatang. Dengan segala konsekuensi memakai darah Basque, mereka bertempur melawang sepakbola yang dibangun dari uang!

Air Mata Si Kecil Ibai
Kenangan masa silam yang masih tersimpan rapi itu, hanyalah setitik dari sekian bukti loyalitas fans terhadap Athletic Bilbao. Tak peduli tua atau muda, segalanya akan dipertaruhkan. Termasuk seorang Ibai, bocah berusia delapan tahun yang ikurrina-nya menerobos batas stadion megah bernama Vicente Calderon.

25 Mei 2012, malam semakin larut. Athletic Bilbao mengalami salah satu musim paling luar biasa dalam 20 tahun terakhir. menembus dua final dalam dua ajang berbeda. Europa League dan Copa del Rey. Setelah beberapa hari sebelumnya klub ini dikandaskan Atletico Madrid 3-0 di final Europa League, puluhan ribu fans Athletic yang berbondong ke Madrid ---termasuk Ibai dan sang ayah--- berharap takdir mau berpihak pada tim ini.

Los Leones akan berhadapan dengan Barcelona, finalis tahun lalu. Di atas kertas, Barca yang memiliki Lionel Messi tampak mudah mencukur pasukan Marcelo Bielsa. Tapi, Ibai kecil, yang ditempa gagahnya kehidupan orang Basque, tak surut. Dibawanya serta ikurrina, bendera Basque sebagai bukti rasa cinta untuk klub. Bukan ikurrina biasa. Sama sekali bukan.

Ikurrina milik Ibai ini sudah melintas negara; menjadi saksi kala perjuangan gagah berani Athletic mampu menekuk klub setangguh Manchester United 2-3 di Old Trafford pada tahun yang sama. Hati kecil Ibai pasti berharap, ikurrina ini akan berkibar lagi di Vicente Calderon.

Hati Ibai berdebar ketika peluit tanda laga dimulai, berbunyi. Denyut jantungnya berdetak lebih cepat ketika timnya mampu berbagi penguasaan bola dengan Barcelona. Tapi mimpi, masih tetaplah mimpi. Foto legendaris para pahlawan yang menembus sungai pada tahun 1984, masih merupakan kehebatan Athletic yang terakhir. Pedro Rodriguez dan Lionel Messi bergantian menjebol gawang Gorka Iraizoz untuk menciptakan skor 3-0.

Air mata mengalir, itu pasti. Empat tahun sebelumnya, tahun 2009, ketika Ibai belum mengenal sepakbola, klub yang sama pula yang menaklukkan Bilbao di ajang serupa. Apa pun yang terjadi, kepala harus tegak. Tak ada waktu untuk berkubang dalam kepedihan.

Carles Puyol, kapten Barcelona, tahu apa yang dilakukan untuk menghormati fans lawan. Meskipun ia tidak bermain karena cedera, Puyol masuk ke lapangan, membawa bendera Catalan, beserta ikurrina … milik Ibai! Anak delapan tahun memandang bangga kepada sang kapten yang menghibur sekian pemberani yang
hadir di Madrid.

Namun, cerita belum usai. Puyol tak mengetahui ikurrina itu milik siapa. Ia mengambil begitu saja dalam keriuhan. Sebaliknya, Ibai mulai menangis karena ikurrinanya tak jua kembali. Pertandingan sudah usai, dan semua orang akan pulang.

Sang ayah, seperti kebanyakan pria Basque, percaya tak ada yang tak mungkin. Ia menerjang penjagaan polisi berkuda. Tujuannya cuma satu, mendapatkan ikurrina sang anak, apa pun yang terjadi. Didekatinya bus pemain Athletic yang belum beranjak dari stadion. Dikirimkannya pesan kepada sopir bus. Memahami maksud ayah Ibai, sang sopir pun berkontak dengan sopir bus pemain Barcelona untuk kemudian mengirimkan sinyal kepada Puyol.

Melewati barikade polisi, akhirnya Ibai dan ayahnya bertemu Puyol. Hati ibai masih berkecamuk. Apakah Puyol masih membawa ikurrina miliknya? Tidakkah bendera ini ditinggalkan di loker, atau diberikan kepada fans Bilbao yang lain? Suasana begitu kacau, semua bisa terjadi.

Begitu sang kapten turun dari bus dengan ikurrina di tangan, wajah Ibai berubah ceria. Itu ikurrinanya! Ikurrina paling berharga yang membawanya melintas jarak, demi Athletic! Puyol, mengetahui perjuangan sang anak demi mendapatkan benderanya kembali, mencium dan memeluk Ibai.

Mata Ibai masih berkaca-kaca ketika para wartawan mengerumuninya. Namun, senyumnya telah terkembang. Anak kecil berusia delapan tahun, tak mengeluarkan kata mutiara sepatah pun. Ia dan sang ayah hanya bergerak, dan terus bergerak, demi Athletic, demi mimpi, dengan segenap keberanian yang meledak.

Demi Sebuah Bendera
Kisah Ibai, adalah bukti keberanian fans Los Leones menerjang ‘api’. Tidak hanya berhenti di sana. Beberapa hari sebelumnya, ada perjuangan yang barangkali lebih heroik. Menjelang fnal Europa League, 400 fans Athletic tersesat di Budapest, Hungaria. Mereka terbengong ketika menyaksikan, tidak ada nama Arena Nationala dalam peta. Berkutat-kutat di kota tersebut, kaki mereka terlalu lelah sebelum menyadari, mereka keliru nama. Laga puncak turnamen yang dulu bernama Piala UEFA ini, berlangsung di Bukarest, Rumania. 500 mil adalah jarak dua kota tersebut, tapi 500 mil bukanlah apa-apa bagi para remaja yang sempat mengundang ‘gelak tawa’ masyarakat Spanyol ini.

Masih ada sekian cerita tentang salah satu suporter paling ‘eksotis’ di Eropa. Dari kisah-kisah lembut di atas, kita bergerak ke kisah yang lebih keras. Semisal, fans Los Leones yang mengencingi suporter Anderlecht pada tahun 2010. Atau, publik San Mames yang tak segan menampilkan suara mereka untuk meminta Israel angkat kaki dari tanah Palestina. Segala akan dikorbankan demi segala yang menyangkut tim dan kebanggaan; ya, sepakbola adalah agama di sini.

Sejatinya, Anda tak perlu deretan bukti di atas. Beberapa saat sebelum para pahlawan mereka berlaga, para fans menyanyikan hymne tak biasa. Diawali dengan seruan panjang sang dirigen yang menggetarkan hati, teriakan mereka “Kalian untuk kami, kalian terlahir dari kami” telah menggema di tanah demi tanah benua Eropa.

Ya, Athletic Bilbao bukanlah sekadar klub sepakbola, melainkan identitas yang harus dijaga sampai mati. Dan meski waktu bergulir, singa-singa Athletic –entah itu fans, pemain, atau direksi klub-- akan terus mempertahankan teritori mereka. Dari klub lawan, dari kejahatan uang, dan dari sekumpulan mertzenarioak. Nenek moyang mereka, sejak titik awal permulaan hidup tanah Basque, telah mengajarkan pepatah, “bumi hanyalah milik orang-orang berani”.

Kebenaran Terakhir


Semua jamaah tercengang mendengar ucapan kurang ajar kakek-kakek itu. Punggungnya bungkuk, matanya bahkan seperti kelelahan untuk membuka saja. Empat orang yang tadi mengiringinya memandang nyalang ke arah haji Hasan. Tiga pemuda gagah dan seorang perempuan cantik.

—o0O0o—


Haji Hasan geleng-geleng kepala, “Kakek, belajarlah.”
“Aku melihat apa yang tidak bisa kamu lihat!” bentak si kakek.
“Penyakit orang tua, semakin uzur dia semakin lupa,” bisik seorang jamaah kepada yang menggerak-gerakkan butir-butir tasbih.
“Aku takut kalau dia mati, dia akan masuk neraka. Sudah hidup lama sampai serenta itu, segalanya akan sia-sia!” yang berbaju koko membisiki jamaah di sampingnya, yang mengenakan celana yang bagian bawahnya dilipat hingga mata kaki.

Tidak lama kemudian, bagian dalam masjid itu penuh dengan dengungan. Bisik-bisik yang makin lama makin keras. Tiga pemuda itu tersenyum sinis, salah satu yang membawa gitar kecil, memetik senarnya.
“Jangan bermain musik!” bentak seorang jamaah dengan muka merah.
“Aku cinta padamu,” kata perempuan cantik itu sambil memejamkan mata, mengenggam erat tangan di depan dadanya.
“Jangan berbicara yang tidak pantas!” bentak jamaah lainnya.
“Kalau begitu, berikan semua harta yang ada di kas masjid ini,” kata si kakek memanaskan kuping.
“Dia memanfaatkan kemiskinannya untuk merampok kita!” keluh jamaah yang tadi memutar-mutar tasbihnya kesal.
“Kakek, kamu tidak berhak merebut harta Allah.”
“Hartamu, monyet!” pemuda yang di samping pemuda bergitar kecil, angkat bicara. Dia mengacungkan jari tengah ke depan yang terakhir bicara.

“Kami miskin.”
“Kalian mampu!”
“Kalau begitu Tuhan sudah mati kemarin sore,” jawab pemuda yang paling dekat dengan si kakek, “dikubur kalian di masjid ini. Ayo, keluarkan jasadnya, biar kami mandikan dan kami kafani dengan kain putih paling murah!”
“Dia menghina Tuhan! Dia sesat!” jamaah lain berkomentar.
“Kakek, Mas-mas, dan Mbak yang cantik,” haji Hasan memandang lebih lama pada perempuan itu lalu mengusap mata dan berbisik lemah seperti berkata ‘astaghfirullah’. Ia membenarkan letak duduknya, “bertaubatlah. Ampunan Tuhan sangat luas, melebihi langit yang tiada batas. Kembalilah ke jalan yang benar.”
“Jalan yang dibuat siapa? Orang tua kalian? Kakek kalian? Kakek buyut kalian? Berapa jauhnya jalan itu? Melebihi jalan aspal di sebelah masjid? Berapa biaya pembuatannya, berapa lama pengerjaannya, dan berapa yang mati olehnya?” si kakek terus berkata, dia semakin memejamkan mata.

“Pak Haji, kita usir mereka baik-baik. Kalau tidak mau, kita panggil orang dari polsek,” kata jamaah yang berkumis lebat, wajahnya garang.
“Ayo, kemarikan harta masjid ini. Ayo, keluarkan jasad Tuhan!”
“Tuhan tidak pernah mati! Tuhan kekal abadi! Tuhan tidak tinggal di dunia, Dia ada di singgasananya di atas tujuh langit!”
“Dia tidak ada di masjid ini tapi kalian menyebut masjid rumah Tuhan!”
“Itu kiasan, kakek idiot!”
“Itu nyata, bajingan!” sekali lagi pemuda itu mengacungkan jari tengahnya. Haji Hasan menelan ludah, memandangi jamaahnya yang sudah terbakar amarah mendengar ucapan-ucapan menghina dari kelima ah, keempat orang itu. Si perempuan belum bicara selain berkata ‘aku cinta padamu’.

“Kakek,” perempuan itu menggeser letak badannya, memandang wajah kakek dengan pandangan penuh cinta, “Tuhan dikubur di pengimaman. Haji itu yang melakukannya.”
Haji Hasan memandang kesal. Ia sudah berusaha untuk tidak melibatkan perempuan itu dalam keburukan, justru si cantik ini yang menuduhnya, memfitnahnya, “Mbak, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.”
Sang perempuan tersenyum, menoleh ke arah haji Hasan. Sedetik terasa begitu sebentar bagi setiap yang melihat gerak itu, ingin melihat yang lebih dari itu. Bibirnya yang pucat berucap dengan suara yang paling manis, “menuduh orang memfitnah, apakah tidak lebih kejam dari pemfitnahan?”
Di saat lain, detik itu seperti berhenti di hati haji Hasan.

“Tuhan tidak terlihat,” kata jamaah yang paling dekat dengan haji Hasan seolah memantapkan keyakinannya bahwa semua pendatang menjelang asar ini adalah para orang yang tersesat. Mereka harus disadarkan. Kalau tidak, terpaksa harus dimusnahkan. Itu pilihan terakhir, seburuk-buruk pilihan.
“Apa yang kalian lihat dari wajah saya?” kata perempuan cantik.
Dada jamaah benar-benar meledak sebenar-benarnya meledak. Bahagia karena perempuan itu, belum pernah mereka melihat ada yang secantik dia. Marah dan memaki, karena perempuan itu menganggap wajahnya adalah Tuhan!
“Selain kecantikan?” bibir haji Hasan bergetar ketika mengucapkan itu. Sungguh malu ia bertanya pada orang yang salah.

“Cahaya.”
Haji Hasan menoleh, mencari-cari orang yang mengucapkan kata tadi. Sependengarannya, suara itu berasal dari deretan di belakangnya, para jamaah yang setia padanya, yang memandang benci pada para orang tersesat di depannya. Akan tetapi, tidak ada yang dirasanya mengucap, tidak ada yang mengaku. Haji Hasan berbalik dan mengamati wajah perempuan cantik itu lebih lama dari sebelumnya, mencari-cari cahaya yang dimaksud suara tanpa identitas tadi.

“Mana cahayanya?” bisik seseorang di sebelahnya kepada jamaah lain. Di sisi ini, haji Hasan menghela nafas lega. Tidak hanya dia yang tidak bisa melihat cahaya di wajah perempuan itu, dengan catatan bahwa si perempuan tidak sedang berbohong dan mempermainkan degup jantung mereka dengan kemolekannya.
“Sudahlah, kalian tidak akan menemuinya. Berikan saja hartanya, semua hartanya,” pemuda bergitar kecil menyadarkan lamunan haji Hasan.
“Itu uang infak, untuk kepentingan masjid.”
“Apakah orang kelaparan bukan kepentingan masjid?”
Haji Hasan menyadari kelima orang ini, sekarang sudah benar-benar kelima orang ini, tidak akan mengalah. Dia melihat jam, sebentar lagi waktu asar. Urusan tidak penting ini harus segera diselesaikan. Salat dianjurkan dikerjakan di awal waktu. Ia harus malu kalau salat tertunda, apalagi sekarang mereka ada di masjid.

“Baiklah Kakek, Mas-mas, dan Mbak, saya akan memberi uang. Berapapun yang kalian minta,” haji Hasan mengambil dompet dari balik sarungnya.
“Harta masjid ini!” kakek tetap ngotot.
“Seratus ratus ribu? Itu cukup untuk makan beberapa hari.”
“Harta masjid ini!
“Dua ratus ribu?”
“Harta masjid ini!”
“Dua ratus lima puluh ribu!” haji Hasan cuma membawa uang sejumlah itu. Ia berputar, melihat ke jamaah di belakangnya, “ada yang membawa uang selain saya?” menatapi satu-satu. Jamaahnya menunduk, tidak ada yang berani melihat.
Haji Hasan kesal, kenapa tidak ada yang mau memberi?

“Pak Adib,” suara haji Hasan melambangkan perasaan hatinya. “Pak Adib punya berapa?”
Pak Adib tidak mau melihat, benar-benar tidak mau. Haji Hasan mendengus, “Pak Adib dua bulan lalu infak tiga ratus ribu untuk merombak tempat wudhu!” katanya mengingatkan, tapi Pak Adib diam seperti terhanyut dalam lamunan.

“Pak Ahmad?” haji Hasan melimpahkan kekesalannya pada penyumbang dua ekor kambing di lebaran haji tahun lalu.
Pak Ahmad juga terlarut dalam lamunan. Ah, apakah wajah perempuan cantik itu yang ada di dalam pikirannya? Sempat juga haji Hasan berpikir begitu.
“Bapak-bapak yang lain?”
Dan seperti tadi, tidak ada yang mengangkat kepala.

“Cuma ini yang saya punya,” putus haji Hasan.
“Harta masjid ini! Kami mau harta masjid ini!”
“Saya adalah ketua takmir masjid ini. Harta saya ini, anggap saja harta masjid ini, Kakek, Mas-mas, Mbak,” haji Hasan makin putus asa.
“Kalau begitu, berikan rumah Pak haji, mobil Pak haji, dan tabungan Pak haji,” perempuan itu berkata dengan lembut. Haji Hasan menelan ludah, “bukan itu yang saya maksud. Uang yang saya bawa ini, ambillah.”

“Mengapa Pak Haji ngotot tidak memberikan harta masjid ini?” sepertinya sang perempuan sudah menjadi juru bicara sang kakek. Haji Hasan sedikit lega menyadari hal ini. Setidaknya, ia tidak perlu melihat lama-lama wajah yang menyebalkan itu.
“Mengapa mbak ngotot meminta harta masjid?”
“Karena kami miskin. Lalu, mengapa masih ngotot?”
“Karena infak itu rencananya digunakan untuk membangun TPA di sebelah masjid. Rencana itu datang lebih dulu daripada kakek yang meminta lebih dari duaratus lima puluh ribu rupiah.”
“Kenapa yang datang terakhir tidak diberi dulu?”
“Bagaimana pertanggungjawaban saya pada masyarakat?”
“Bagaimana pertanggungjawaban saya pada Tuhan?”

Haji Hasan merasa kata-kata perempuan itu sudah keterlaluan, “memangnya  Mbak siapa? Mengapa merasa harus bertanggungjawab pada Tuhan karena kami ingin membangun TPA?”
Perempuan itu menoleh ke kakek lalu ke teman-temannya yang mengangguk seperti sepakat akan melakukan sesuatu. Haji Hasan berdebar-debar, kalau kelima orang ini mau menyerang, rasanya tidak mungkin. Jumlah jamaahnya terlalu banyak.

—o0O0o—

“Pak Haji mau melakukan salat asar?” tanya perempuan itu.
“Ya, sebentar lagi. Marilah kita salat bersama,” bujuk haji Hasan.
“Kalau begitu kami permisi. Maaf kalau sudah merepotkan.”
“Ini uangnya,” disodorkannya uang yang sudah bercampur keringat itu.
“Simpan saja. Barangkali Tuhan versi pak Haji lebih membutuhkan,” perempuan itu berdiri. Ingin rasanya Haji Hasan menampar bibir pucat-tipis itu, selain mengecupnya. Kakek itu dibopong dua orang pemuda, dan pemuda bergitar kecil itu memetik senarnya kembali.
“Jangan bermain musik! Sudah saya bilang!” teriak yang mengingatkan pertama kali makin kesal.

Tamu harus dihormati. Karenanya, haji Hasan berdiri untuk melepas kepergian tamu-tamu tak dikenal itu. Kakek menoleh, lalu dibopong pergi. Pemuda bergitar memetik gitar kecilnya lagi, tapi tidak ada yang mengingatkan karena dia pasti segera pergi setelah kekacauan ini.

Perempuan itu mendekati haji Hasan. Hatinya jelas bergetar, perempuan itu terus mendekat dan berbisik lemah di telinga sang haji, “saya sudah sering melihat yang seperti ini. Harga Tuhan cuma dua ratus lima puluh ribu. Bapak yang membunuhnya di hati bapak.”

Muka haji Hasan memerah. Perempuan itu mengangguk, tanpa salam dia berbalik dan pergi. Di punggungnya yang terlihat bergerak, haji Hasan seperti melihat ada keringanan yang luar biasa.

Lama haji Hasan berdiri terdiam. Jamaahnya kebingungan, adzan harus diperdengarkan, tapi melihat sang pemimpin membisu, itu suatu yang mampu menahan mereka bergerak.
“Tuhan, jangan bunuh aku buru-buru, panjangkan umurku…” bisik pak Haji lemah. Cuma mereka yang dekat dan yang memperhatikan saja yang mendengar bisikan itu.


Oktober 2007
Memanjangkan yang tidak akan pernah panjang

Orang-Orang Kalah

“Seseorang itu tergantung yang dicintainya” (H.R. Bukhari)
—o0O0o—

Puluhan tahun lalu, seorang perantau nekat bersepeda melintasi ratusan kilometer jarak dari Ibukota kembali ke kampung halamannya, sebuah dusun terpencil di batas Wonogiri. Tindakan gilanya itu adalah bentuk protes. Protes bisu kepada masyarakat yang terjerat oleh jaring laba-laba ciptaan mereka sendiri. Kaum melarat di tanah kelahirannya menggaruk-garuk uang. Kaum berperut buncit di tanah impiannya —yang setiap jengkal tanahnya dibebani ribuan pajak itu— hanya berbicara kalau ada uang. Akan tetapi, tidak ada yang peduli padanya. Roda sepeda berputar, zaman berganti. Kisah perantau itu menggumpal sekian lama. Disebarkan turun-temurun dengan celaan.

Bumi berputar, sejarah berulang. Lalu, kalau sekarang orang yang berbeda —siapa dia?— berjalan dari kampusnya menuju rumah kecil di barat Jogja yang terpaut 17 kilometer, aku tidak tahu apakah dia sedang melakukan protes bisu yang sama ataukah tengah berpetualang yang bagi orang lain bagai kutukan.
Orang-orang kalah, adalah kumpulannya.
—o0O0o—

Mari kita sebut orang ini sebagai mahasiswa kita.
Hari ini dimulainya dengan manis. Bus penuh sesak itu ditumpanginya menuju kampus. Di tengah kerumunan anak SMA, ibu-ibu yang hobi belanja, dan bakul tua, dia menyerahkan tiga lembar ribuan kepada kernet bertopi.

“Turun mana, Mas?”
“Bunderan, Pak,” jawabnya ramah.
Sang kernet manggut-manggut, tidak mengembalikan kelebihan Rp 500,00. Mahasiswa kita tidak memintanya. Kernet pun leluasa menjawil anak SMA cantik berbando kupu-kupu yang ada di belakangnya, lalu ke belakang lagi, lalu ke belakang yang lebih belakang lagi.
Terjadilah teriakan pertama pagi ini di bus tua itu.
Ibu-ibu berbedak tebal yang duduk manis, mencak-mencak kepada kernet barusan karena ketika menyodorkan Rp 2.000,00, sang kernet masih meminta tambahan lagi:
“Zaman susah kok malah main pungli. Ra reti kahanan[1]!”
“Dua ribu nggak laku, mbokdhe[2]. OSIS[3] saja berani segitu!” balas kernet.

Kericuhan bangku paling belakang tidak kalah kelas. Ibu-ibu bergincu merah membara, marah-marah kepada anak sekolah yang duduk santai sementara sang ibu berdiri kecapekan.
“Ada orang tua berdiri kok didiamkan saja. Dipersilakan, kek!”
Ketika orang lain bersungut-sungut kepada bocah tak tahu sopan-santun itu, tokoh utama kita ini, malah memandangnya lembut.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—

Mahasiswa kita turun di depan halte. Di sana ditemuinya laki-laki kumal yang tiduran tak nyenyak, bersebelahan dengan gadis cantik berkacamata yang memandang agak bergidik. Yang pertama sepertinya putus asa oleh kerja. Yang kedua, sepertinya hendak mencari hal yang di-putus-asa-i laki-laki kumal tadi, terlihat dari stopmap hijau yang ditenteng. Di tembok sebelah halte, tertulis grafiti yang hurufnya besar-besar berwarna merah, “Tolak UU Pornografi!”

Mahasiswa kita melanjutkan perjalanan, menuju masjid besar, melalui bagian timur. Di saf terbelakang masjid itu, beberapa orang tengah bertelekan. Ada pula yang belajar. Diskusi. Tanggal-tanggal ini, musim midsemester kuliah. Sepatu bermerk terkenal hampir berserakan di lantai terluar.

Seorang pengurus masjid yang sedang menyapu lantai, datang menghampiri sepatu-sepatu itu. Mengaturnya rapi. Pengurus masjid ini masih muda, tampan, berjanggut tebal, berbaju koko, dan mengenakan peci putih. Mahasiswa kita tidak sengaja bertumbukan mata dengannya saat melepas sepatu sebelum ke tempat wudhu.
Setelah wudhu di pancuran, mahasiswa kita masuk ke ruang masjid yang begitu lapang. Dilihatnya sejenak lampu raksasa melingkar yang niscaya akan menaungi jamaah dengan cahayanya. Pagi ini tidak dinyalakan. Dia takbir, sembahyang dhuha dua rakaat di saf pertama. Sekali lagi, suasana sepi, lengang. Tak ada orang selain dia di barisan terdepan. Jarum jam yang pendek sudah berlari ke arah delapan.

Sejenak kemudian, mahasiswa kita sudah kembali ke lantai terluar, menyimpul tali sepatu, hendak kuliah. Pengurus masjid tadi, yang diam-diam mengamati gerak-gerik mahasiswa kita, mendatanginya. Sang pengurus duduk dengan sopan di sebelah mahasiswa kita dan angkat suara,
“Mas, lain kali, kalau salat subuh ingat waktu.”
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—

Mahasiswa kita kuliah. Ujian midsemester. Semua mahasiswa, yang paling jarang datang sekalipun, berada di barisan terbelakang. Ah, mari kuberikan candaan: “soalnya mudah tetapi jawabannya sulit!”. Beberapa orang di deretan belakang, yang kemarin menempelkan seruan demonstrasi antikenaikan BBM, saling bertanya. Seorang di antaranya nekat mengeluarkan catatan panjang.
“nomor enam, nomor enam…”
Kepala berputar-putar. “nggak terbaca. Sini saja!”
Kertas contekan berpindah tangan, berantai.
Mahasiswa kita merengut dan mengerjakan soal secepatnya. Memberikan lembar jawaban kepada pengawas ujian, asisten dosen, yang kebetulan teman seperbincangannya. Sang pengawas mengerling, “Titip salam ya, buat Ayu!”
Mahasiswa kita tersenyum.

Kuliah tadi adalah satu-satunya kuliah hari ini. Kuliah kedua, kosong. Tidak ada tugas. Kuliah ketiga, kosong juga. Dosen sedang sibuk mengerjakan disertasi.
Perpustakaan sudah tutup pukul 14.45. Saatnya pulang.

Dalam perjalanan menuju tempat perhentian bus, mahasiswa kita berhenti di masjid sepi yang baru kali ini didatanginya. Tak semegah masjid tempat salat dhuha tadi. Bahkan atapnya ada yang sudah bocor, terlihat ada warna hitam di sana. Jamaah asar. Jamaahnya sedikit pula. Seorang tukang semir, seorang pedagang angkringan, pemuda masjid, dua orang anak kecil, dan seorang bapak-bapak berdasi mengkilap. Mahasiswa kita imamnya. Setelah selesai salat, bapak-bapak tadi memasukkan uang warna merah ke dalam kotak infak.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—

Di kelanjutan perjalanan menuju perhentian bus, mahasiswa kita didekati seseorang berbaju hitam, bertelanjang kaki. Ah, bagi orang-orang yang sering berjalan kaki, orang macam ini sudah bukan barang baru. Ya, inilah penipu. Mungkin dia adalah produk kapitalisme yang paling nyata daripada ibu-ibu hobi belanja atau remaja perempuan ingin berkulit putih. Mari kita kutip pembicaraan mereka berdua.
“Mas, mas, tolong berhenti sebentar.” (mahasiswa kita selalu berjalan cepat, tidak ada yang bisa menyainginya dalam hal ini.)
“Ya, Pak?”
“Anu, begini. Tahu di mana pasar sepeda bekas di sekitar sini?”
“Wah, saya tidak tahu Pak,” mahasiswa kita memperhatikan lebih seksama.
“Begini. Saya tadi membawa bapak saya ke rumah sakit. Ketika pulang, eee… sepeda saya dicuri orang! Kurang ajar sekali dia! Padahal Mas, uang saya ketinggalan di rumah dan saya tidak membawa sepeserpun sekarang.”
Mahasiswa kita memegang bagian depan tasnya.

“Kalau Mas nggak keberatan, bolehkah saya meminta uang untuk ongkos bus, pulang? Saya khawatir bapak saya nanti tidak diurus kalau belum ada bayaran.” Dan mungkin kebanyakan laki-laki ditakdirkan sebagai perayu sehingga mahasiswa kita mau-mau saja meski dia hafal betul trik murahan ini. Diberikan-nya tiga lembar ribuan.

Seorang abang becak yang sudah tua lewat, melintasi mereka, memandang iba entah kepada siapa. Sang penipu pura-pura menolak uang tersebut, “jangan sekarang Mas. Malu aku dilihat tukang becak. Kayak aku ini penipu saja!”
Mahasiswa kita memastikan abang becak telah pergi jauh, baru memberikan uangnya lagi. Sang penipu, matanya bercahaya, “makasih, Mas!”
Mahasiswa kita tersenyum, berjalan membelakangi aktor terbaik hari ini. Meninggalkannya yang barangkali tersenyum juga.

Kawan, mahasiswa kita cuma memiliki uang saku Rp 6.000,00. Kalian pasti tidak percaya, tapi di dunia ini, mana ada yang boleh dipercaya? Rp 5.000,00 digunakan untuk perjalanan, dan Rp 1.000,00 kalau ada apa-apa di kuliah. Aih, sekarang uang itu habis. Mau naik apa mahasiswa kita? Dia melihat langit. Langit sedang biru cerah. Awan-awan raksasa menggulung-gulung. Dia berkeputusan untuk jalan kaki! Aih, berjalan kaki…
Kilometer adalah batasan manusia, seperti halnya motor.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—

Mahasiswa kita mulai menempuh jarak. Disusurinya jalan raya yang anggun. Berbadan gemuk, menampung dua aliran kendaraan yang tak berhenti bergerak sepanjang sore menjelang senja ini. Entah mengapa, semakin waktu merayap, semakin kuning-keemasan langit barat, semakin cepat pula laju kendaraan. Seolah ketakutan tentang malam menghantui sang pengendara, seperti dikejar-kejar sesuatu yang akan menerkam hidup-hidup.

Mahasiswa kita sesekali menengadah langit. Hal itu dilakukannya setelah melihat sesuatu sepanjang langkahnya. Kali ini ia memandang sebuah pabrik sepatu, agak lama. Pabrik yang tertutup dan di depannya ditancapi baliho-baliho warna oranye itu bisu, tapi seperti berbicara dengannya. Ya, mari kukisahkan sejenak…

Beberapa bulan lalu, pemilik pabrik ini bertikai dengan para pekerja. Pertikaian tentang gaji berlarut-larut. Puncaknya adalah aksi pendudukan pabrik oleh pekerja. Hai! ini bukan guyonan, tapi benar-benar terjadi! Sayangnya, mereka menduduki bagian luar saja, tidak sepenuhnya menguasai pabrik. Satpam dan polisi —siapa yang mengundang mereka?— dikerahkan. Pabrik ini terletak di pinggir jalan. Bayangkan betapa menyemutnya lalu-lintas saat itu! Pekerja mundur, tak mau baku hantam karena ingat anak-istri barangkali.

Pabrik ditutup dengan seng berlapis. Pekerja tumpah ke jalan, bergerombol. Beberapa yang masih nekat, menuliskan kata-kata kasar di seng tersebut. Senja datang, pertikaian mereda. Pulanglah mereka ke keluarga. Makan adalah urusan masing-masing.

Pagi harinya, ada yang menggelikan tetapi benar-benar terjadi. Di sebelah coretan-coretan pekerja, ada coretan pula. Kali ini lebih besar. Mungkin dikerja-kan semalam: “Merusak dan mengganggu hak milik orang lain bertentangan dengan undang-undang!” Kami (aku dan mahasiswa kita) tidak tahu kelanjutan nasib para pekerja, yang jelas pabrik itu tutup sekian lama. Hari ini, pabrik itu telah berganti nama. Yang awalnya Jawiya menjadi Dawiya. Entah pemiliknya.

Mahasiswa kita mendesah pelan. Ya, mahasiswa kita merekam dengan baik karena dua dari sekian pekerja pabrik itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Dilihatnya langit jauh, lalu berjalan lagi.
—o0O0o—

Mahasiswa kita masih berjalan pulang. Kali ini di seberang sana, terlihat toko yang sedang obral sepatu dan sandal. Ditampilkan begitu saja di pelataran depan toko. Salah satu penjualnya, memiliki cara jitu. Ia duduk di sebuah kursi dan menggunakan megaphone. Banyak yang berburu. Setiap kali ada orang yang menawar, diucapkannya ulang, dan itu jelas mengundang reaksi. Orang tak mau menawar murah-murah karena takut ditertawai orang, dan harga murah itu tetaplah murah: Rp 5.000,00–Rp 25.000,00. Maklum, saat-saat seperti ini, daripada memikirkan tabung seberat 12 kg, mending memikirkan alas kaki.

Mahasiswa kita tersenyum manis, lalu berjalan lagi.
Bicara tentang harga diri, aku mengingat sesuatu tentangnya. Jumat lalu, selesai salat Jumat di masjid kampungnya, seorang anak kecil memanggilnya dan mengajak bersalaman dengan riang. Ini permainan antara mahasiswa kita dan anak kecil itu, hanya mereka berdua. Ketika bersalaman, jari telunjuk dimanfaat-kan untuk menggelitik telapak tangan. Cobalah, rasanya geli-geli menyenangkan. Anak itu, meski ompong, nyengir: “Mas, gendong sampai rumah, Mas!”

“Ayo!” kata mahasiswa kita menantang dan benar-benar menggendongnya. Jamaah lain mengamati mereka aneh, seolah tindakan itu salah. Kalian tahu, orang-orang itu kebanyakan berinfak di kotak kayu berlubang sempit. Kalian tahu, mereka termasuk orang yang giat berkata ukhuwah islamiyah. Mahasiswa kita bahkan tetap mengajak ngobrol teman seperjalanannya, salah satu yang paling risih mengamati kedekatannya dengan sang anak.
Ada kisah lain. Saat musim takjilan[4] tiba, anak-anak berjumpalitan kesana kemari, malas mendengarkan, bercerita sendiri, dia selalu mengajar dengan senyum. Seorang anak yang tak tahan dengan gaya mengajarnya bertanya: “Mas, kok nggak pernah marah sih?”, membuka kedok mereka sendiri, bahwa kenakalan anak-anak itu hanya trik agar dimarahi. Mahasiswa kita tetap saja tersenyum. Saat menanti salat maghrib, semua anak laki-laki patuh padanya meski tak jarang mereka menggodanya, menarik perhatian, lebih dari yang dilakukan terhadap pengasuh lain.
—o0O0o—

Mahasiswa kita masih berjalan, dan terus berjalan. Rumah masih cukup jauh. Senja sudah menggulung awan lenyap di baratnya barat. Ya, awan bagai selimut yang meluas jauh, dan matahari tinggal warna merah-oranye yang pudar. Langit sudah ungu. Sisa awan yang masih ada, seperti noda-noda biru tua di langit.

Di sebuah jarak, dilihatnya beberapa pasang kekasih di sebuah rumah makan pinggir jalan. Ada yang makan berhadapan. Sang lelaki menyeka pipi kekasih. Ada yang makan bersebelahan. Yang perempuan sempat menyandarkan kepala ke bahu kekasihnya yang sibuk memencet-mencet tombol di handphone. Sementara itu, petugas penjaga parkir, setelah melihat kemesraan mereka, membaca lagi korannya, membolak-balik dengan resah, seperti sedang mencari ramalan bintang minggu ini.

Tak lebih lima puluh meter dari rumah makan romantis itu, mahasiswa kita menemukan sepasang kekasih lain. Yang laki-laki tengah memeriksa ban motor-nya, dan yang perempuan melihat sang kekasih. Tak jauh di depan mereka, seseorang yang duduk di depan tempat tambal ban, memandang mereka resah, seperti ikut berkepentingan. Sebuah bendera partai berkibar di sisi kanan tempat tambal ban itu, berlatar hitam.

Ngomong-ngomong tentang cinta, mahasiswa kita mempunyai kekasih: orang yang dicintai. Bersama dua teman laki-laki lain, mereka membentuk kelompok yang namanya susah disebut. Mereka  sering mempost sesuatu di blog mereka, entah itu sajak, entah itu cerpen, entah itu makalah. Pengunjungnya cukup banyak. Mereka juga sama seperti demonstran lain, menyebarkan selebaran. Bedanya, isinya puisi cinta. Aih, ya… kekasih mahasiswa kita, seorang pejalan kaki juga. Mereka tidak berpacaran, tapi belajar, kata teman dekatnya. Jangan bertanya apakah mereka bergandengan tangan atau bergandengan hati.
—o0O0o—

Hampir azan maghrib ketika mahasiswa kita tiba di rumah.
Mangga ranum yang letaknya menggelantung ke tepi jalanan —tapi terlalu tinggi untuk dipetik anak-anak iseng— tertiup angin, mengangguk, memberinya ucapan selamat datang. Rumah masih gelap. Tampaknya pemadaman bergilir tengah merayapi wilayah ini. Pantas pula sejak tadi, dalam perjalanannya, maha-siswa kita seperti berada di kota mati. Warna yang kabur-gelap bahkan tampak sedikit lebih bercahaya. Seperti dunia abu-abu, di bawah langit ungu hampir kelabu pula. Sepi, kosong. Seorang tetangga nganggur —mantan buruh pabrik Jawiya—, duduk di amben depan rumah yang berhadapan dengan rumah mahasiswa kita. Pura-pura cuek waktu mahasiswa kita lewat dan menyapanya manis. Mungkin malu, entah karena apa. Beberapa hari lalu, motornya terpaksa dijual diiringi ancaman cerai oleh sang istri yang diucapkan keras-keras.

“Asalamualaikum,” mahasiswa kita mendorong pintu.
“Waalaikumsalam,” sahut yang di dalam. Suara perempuan. Lalu, sebuah lampu teplok dibawa perempuan tadi, ibu mahasiswa kita, ke ruang tengah, tempat mahasiswa kita sekarang duduk selonjor melepas lelah dan sepatu.
“Jalan kaki lagi, ya?” ibunya tersenyum. Nyala api merah-kekuningan menggaris warna yang nyata di guratan senyum itu. “Kamu terlalu baik pada orang lain, sih. Malah tidak baik kepada diri sendiri.” Ibu mahasiswa kita ini tampaknya sudah paham betul. Apakah mahasiswa kita sudah terlalu sering melakukan perjalanan tak masuk akal ini?

Di rumah sebelah, yang jaraknya tak ada semeter dari rumah ini, terdengar bunyi perabot jatuh. Mungkin wajan. Mungkin tersenggol tikus atau apa.
Asem ki[5]!” teriak tetangga. Mahasiswa kita menoleh keluar, melalui jendela besar yang menampung hampir setiap gerakan di senja itu. Sandal jepit melayang hampir menghantam kucing yang menggondol sesuatu. Tetangga buru-buru keluar, mengambil sandalnya yang mampir ke halaman rumah mahasiswa kita. Dia mantan buruh pabrik Jawiya juga. Cerai dengan istrinya sejak dua bulan lalu.

Tetangga yang duduk di amben di sana, yang sama-sama di-PHK, seperti bicara sendiri keras-keras, “PLN ki piye? Pemadaman ora ngomong-ngomong ndhisik! Lha, arep ndelok bal-balan rak yo ra iso to, nek ngene[6]?”
Yang memungut sandal, nyeletuk sambil memeriksa kalau-kalau sandalnya bedhat, putus, “ngendi lawan ngendi to, Lik[7]?”
“Indonesia lawan Malaysia! Kuwi rak yo jenenge ora nasionalis[8]!”
Mahasiswa kita tersenyum. Warna kelabu masih saja tertebar asing dan mengendapi senja di kampung ini. Bagai menonton film tua. Suara azan tak terdengar dari kejauhan karena mikofon mati. Sebagai gantinya, tetangga yang duduk di amben nyeletuk, “mangkan yasinan ora, Son[9]?”
Mbuh Pakdhe. Nek wis murup wae[10]!”

Mahasiswa kita menghela nafas, lalu bergumam. Menyenandungkan lagu yang tidak dikenal orang-orang kampungnya, lirih pelan.
“No end, no end to the journey
no end, no end never
how can the heart in love ever stop opening
if you love Me, you won’t just die once
in every moment you will die into Me
to be reborn into new love…[11]

“Ide, nggak baik senja-senja seperti ini nyanyi lagu Inggris,” tegur ibu mahasiswa kita sambil memberikan handuk, “mandi dulu. Salat.”

Orang-orang kalah di sini, orang-orang kalah di sana,
berkumpul dan menyebar. Demikian adanya.
Akan tetapi, mahasiswa kita tersenyum. Selalu tersenyum.

—o0O0o—









1 Desember 2008


[1] Tidak tahu keadaan (bahasa Jawa).
[2] Dalam kasus ini, panggilan terhadap orang yang dituakan meskipun makna literalnya adalah panggilan kepada saudara tua perempuan dari ayah/Ibu (bahasa Jawa).
[3] Istilah kernet untuk anak SMP dan SMA karena di saku dada seragam mereka ada logo OSIS.
[4] Takjilan secara umum diartikan hampir sama dengan ngabuburit, menunggu buka puasa. Lokasinya di masjid dan biasanya diadakan untuk anak-anak oleh remaja masjid. Makanannya berasal dari takjil penduduk sekitar masjid.
[5] Kata makian dalam bahasa Jawa.
[6] Bagaimana sih maunya PLN? Pemadaman, tetapi tidak memberitahu lebih dahulu. Lha, kalau begini, kan tidak bisa menyaksikan (pertandingan) sepakbola? (bahasa Jawa).
[7] Siapa melawan siawa (bahasa Jawa). Arti literalnya, “Mana melawan mana”.
[8] Kalau (tindakannya) begini [memadamkan listrik] kan (PLN) tidak nasionalis. (bahasa Jawa).
[9] Berangkat yasinan tidak, Son? (bahasa Jawa).
[10] Tidak tahu, Pakdhe. Kalau listrik sudah menyala saja. (bahasa Jawa).
[11] Salah satu sajak penyair Persia, Jalaludin Rumi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “No End to the Journey” dan digubah menjadi lagu.

Venus

“Sudah genap sembilan orang,” Pak Harpun membagikan buku surat Yasin kepada kami berdelapan yang duduk membentuk lingkaran. “Yang di luar tidak diajak sekalian, Pak?” Pak Mardi selaku tuan rumah mengingatkan. Beberapa pemuda seusiaku tampak berjaga-jaga. Pak Harpun menggeleng, “sembilan itu angka sempurna.”

Lampu neon ruang tamu menerangi dalam rumah berdinding bata ini. Saling melirik, detik berikutnya tiap-tiap kami larut dalam pikiran masing-masing, kecuali aku. Hari kedua dari tiga hari yang disyaratkan orang pintar dari makam Sunan Gunung Jati. Demi melihat sikapku yang sedikit angkuh, Pak Harpun yang bersila di sampingku berbisik nyaris tak terdengar, “Mas Mim, dalam perhitungan kalender Jawa, malam ini sederajat dengan 40 malam. Jika kita melakukan sesuatu, kemungkinan untuk dikabul-kan Tuhan pasti lebih besar.”
Aku mengangguk, entah hatiku.

“Saudara-saudara,” suara berat Pak Harpun memecah lamunan bapak-bapak di sini. Akulah yang termuda. “Mari kita mulai membaca surat Yasin sebanyak 7 kali secara tartil dengan harapan Mas Marno, yang sudah hilang lebih dari 40 hari, segera kembali.”
Hampir semua berbaju batik kecuali aku. Kukenakan pakaian serbahitam atas saran dari Ayu. Hitam berarti kebijaksanaan dalam terminologi sufi[1]. Hampir semua berpeci hitam yang telah termakan waktu, memudar coklat di tepiannya. Aku tidak, tidak berpenutup kepala.

Monggo dipunwaos sesarengan. Kulo dherekaken[2],” kata Pak Harpun.
Lalu, suara-suara tenang bergelayut meremang di ruang berukuran 3×4 meter itu. Suara jangkrik di luar sana sesaat terdiam. Jarum jam pendek di dinding hampir tepat di atasku, bergerak ke arah angka delapan.
“Yaasiiin, Walqur’anil hakim…”
Pikiranku terpecah-belah, melayang kepada Ayu yang duduk sendiri di rumah. Pada pesannya sebelum senja tadi….

”Berangkatlah,” dia tersenyum lapang, selalu demikian adanya. Senja terlalu merah untuk menampung degup jantungku. “Bukankah dia anak yatim juga, sepertimu?” Aku memandang gamang ke timur, ke arah cahaya putih cerah yang sebentar lagi ditemani taburan bintang. Venus. Kileken. “Bekerjalah tanpa pamrih, Mim. Seperti Kileken yang dikabarkan oleh suku Masai.”
—o0O00—

Alkisah, seorang kakek tua tinggal sendirian di sebuah gubuk. Ia jatuh cinta pada taburan bintang, sebagai pengobat sepinya. Bahkan, ia menganggap bahwa mereka yang berserak di langit hitam itu, yang cahayanya mesti menyeberang jutaan tahun sebelum terekam mata, sebagai anak-anaknya. Hingga suatu ketika, di sebuah malam cerah, sebuah bintang di sudut jauh sana, yang dikenalnya dengan baik, lenyap. Pada saat yang sama, seorang anak muncul di halaman rumahnya, menyapa lembut dan memperkenalkan diri sebagai Kileken, sang anak yatim yang mengembara.

Sejak saat itu, Kileken selalu mengerjakan tugas sehari-hari sang kakek, menggembalakan ternaknya setiap pagi dan senja. Hidup sang kakek berubah, dipenuhi keajaiban Kileken. Hanya satu pinta sang yatim: kakek tidak boleh melihatnya saat bekerja. Akan tetapi, rasa ingin tahulah yang menjadi sifat dasar manusia. Kakek melanggar janji. Ia mengintip! Kileken lenyap seketika, menjadi bintang pagi. Suku Masai menganggap bintang pagi dan senja adalah dua hal berbeda. Kilekenlah sang penjemput pagi. Leken, adalah sang penutup hari ketika senja bergelayut. Pengetahuan Barat yang mengklaim diri sebagai yang paling rasional itu menyebutnya Venus, dewi cinta. Bukan Kileken, anak yatim pengembara yang memberikan cinta cuma-cuma.
—o0O00—

Mas Marno berusia 42 tahun, tinggal menumpang di rumah kakaknya, Pak Mardi —tuan rumah yasinan ini, yang mengenakan baju batik biru bermotif gunungan—. Sejak kecil, Mas Marno sudah dilekatkan dengan hal-hal klenik. Bagiku yang dididik untuk memahami hal secara ilmiah, objektif, dan rasional, setiap cerita tentangnya sama sekali tak kupercaya. Hingga, Ayu datang dan membuat pikiran skeptisku berubah total.

Dikisahkan, ibu Mas Marno sebenarnya keguguran ketika janinnya berusia 4 bulan karena melanggar pantangan menebar benih padi di sawah. Berkat bantuan salah satu roh tertinggi di desa ini, kandungan itu kembali. Mas Marno lahir dengan kecerdasan yang agak tertinggal. Akan tetapi, jauh lebih dari itu, kebaikan hatinya di atas segalanya, dibanding kami yang menganggap diri moralis. Aku dan Ayu yang merantau saja diperlakukannya istimewa, melebihi siapapun di desa ini. Ia bekerja serabutan. Banyak yang membutuhkan tenaganya.

 Biasanya, ia diupah sebatang-dua batang rokok dengan merk tertentu dalam sehari, ditambah makan. Akan tetapi, kalau aku atau Ayu yang meminta, dia tidak pernah mau menerima imbalan. “Nanti Bapak marah,” alasannya yang ketika itu belum masuk otak skeptisku. Aku yang merasa janggal. Baik ayahnya maupun ayahku telah meninggal beberapa tahun sebelum kami bersua.

Banyak keajaiban yang terjadi dalam hidup Mas Marno, seperti Kileken. Ia pernah jatuh dari ketinggian 5 meter, dan selamat tanpa luka sedikitpun ketika diminta mengunduh kelapa di rumah Pak Slamet Mulyadi, salah satu pelopor ternak ikan lele di desa ini. Waktu ditanya oleh Pak Slamet —ia memakai batik kuning malam ini—, Mas Marno berkata, “tadi bapak pergi. Jadi, saya jatuh”. Ketika aku mengisahkannya ulang kepada Ayu dan bertanya untuk kesekian kalinya apa yang dimaksud Mas Marno sebagai ‘ayah’, istriku hanya berkata, “kamu belum mengenal dirimu sendiri, Mim”. Kileken, sang yatim pengembara.
—o0O00—

Belum juga satu putaran Yasin dibaca, kami semua dilanda kantuk berat. Aku yakin tiap-tiap kami telah hafal sehingga bacaan tidak rusak di tengah jalan. Pikiran skeptisku sempat beranggapan bahwa ini hanya efek kelelahanku. Seharian tadi aku sibuk mengedit buku —hari ini aku tidak berangkat ke kampus untuk mengajar— dan tak sempat tidur siang.

Pun aku sebenarnya menolak ritual yang cenderung syirik ini. Bid’ah yang membudaya, kata teman seprofesiku. Mungkin keduanya yang mengacau pikirku hingga kulihat huruf hijaiyah yang ada di buku dalam genggaman tanganku berubah menjadi sandi-sandi aneh berwarna kuning-kecoklatan. Mungkin saat ini telah tiba faseku bermimpi, tapi aku memaksa diri untuk sadar. Mungkin. Jika kami bersembilan, yang dianggap paling fasih membaca di kampung ini, mengalami hal sama, itu adalah kebetulan. Lalu kata-kata Ayu meruyak kembali….

“Venus adalah kembar bumi yang pelik, Mim,” Ayu membolak-balik halaman buku catatan hariannya. Belakangan, dia sangat suka mengisahkan Kileken dan sedikit berfilsafat. Planet yang dibicarakan, berada di timur sana. Mengintip kami.

“Hanya, ia mengalami efek rumah kaca yang terlalu cepat 4,5 milyar tahun lalu. Sekarang, ia berevolusi terlalu lambat. Bukan sebuah kebetulan jika ketika berserak, ia dekat dengan bumi. Setidaknya kamu bisa berkata, Tuhan ingin menunjukkan bagaimana neraka itu,” matanya nakal menusuk mataku. Aku setengah terpaksa tersenyum. Kalau benar ada evolusi, berarti kebetulan pula kita mempunyai akal. Seharusnya, Tuhan menitipkan akal itu kepada burung yang bisa terbang kemana saja dan menaruh jiwa ke dalam ikan paus yang menelan Yunus, agar menenggelam ke dalam samudera.

Dia lalu menambahkan, “kita berkata dia dewi cinta. Cahaya yang dipantulkannya memukau. Di sana, ada lapisan-lapisan awal yang amat tebal, yang menyelimuti planet tersebut. Akan tetapi, di balik kecemerlangan putihnya, ia adalah tempat yang gersang, berbatu. Contoh tepat untuk melihat efek sesungguhnya global warming.”
Kembar yang pelik. Ayu sedang memperbincangkan Venus sekaligus hal lain.

“Dan ruh, Mim… kamu tahu bahwa sains saat ini tidak mau mengenalnya. Ruh dan jiwa adalah dua hal berbeda yang sekaligus sama. Mirip benar,” Ayu bertopang dagu memandang sang bintang senja. Aku terpancing untuk mendekat. Dia berpaling ke kiri, “oh ya~ suku Masai adalah salah satu percontohan untuk mengatasi global warming yang kamu takutkan itu. Mereka telah terbiasa untuk bertani di padang pasir dan semak belukar sejak lama.”

Ayuku. Dia meletakkan bukunya di sebelahku ketika berdiri. “Aku masak dulu. Hari ini sudah bukan mie instan lagi,” candanya garing. Dia tahu aku akan membuka benda itu setelah dia sibuk di dapur. Aku tertawa pelan.
“Kileken, kamu, dan Mas Marno,” tutupnya. “kalian mirip, bukan?”
—o0O00—

Akulah Ruh, kembarmu yang pelik.
Akulah yang menjebakmu dalam waktu dan peristiwa.

Saat kau kuciptakan, kau adalah bentuk yang belum dapat diungkapkan. Terselubungi kabut, seperti halnya citraanku yang kautangkap di kemudian hari. Kelak, ketika kau telah tinggal dalam rahim ibu, informasi-informasiku masih berlanjut, tak pernah berhenti. Akan tetapi, sejak saat itu kau akan menempuhi jalan dan beranggapan bahwa aku tak dikenali. Maka, kugunakan malaikat, salah satu bagian terjauh perkembangan jiwamu. Ia mengirimkan makanan kepadamu setiap hari. Ia menunjukkan pula hidupmu di dunia, waktu ajalmu, dan segala macam pencarianmu[3]. Pencarianmu akan hakikat keberadaanmu yang tak pernah rampung. Kelak, ketika kau mengenal warna langit yang berbeda, yang menipu mata dengan birunya, kadang pesan-pesan tadi terbias seperti cahaya yang masuk ke dalam air. Kau tengah mengulang peristiwa tanpa kausadari kaupernah melihatnya. Kausebut hal itu déjà vu.

Ketika kau mulai bernafas mengambil udara dunia, lima puluh bahasa meniada. Kau seperti tak mengenal dirimu sendiri. Kita berpisah. Kau rindu, apalagi aku. Perulangan-perulangan semakin sering terjadi. Jika kaumampu menarik garis darinya, kau akan mengerti bahwa aku tak memintamu untuk takut kepadaku, tetapi memintamu mencintaiku. Jangan kausebut aku ayah meski aku menciptakanmu. Aku adalah cinta, tujuanmu. Kau sendiri. Pahamilah malam. Bagaimana ia kauanggap sebagai wajah alam semesta sesungguhnya. Sepasang demi sepasang makhluk beristirahat, mencipta lingkaran hampir nol. Inginku kau bercengkerama denganku. Ciptakanlah alif untuk berdirimu. Kha’ untuk rukukmu. Mim untuk sujudmu. Dan dal, untuk dudukmu. Lihatlah tubuhmu itu, bagaimana air, udara, cahaya, dan tanah berbaur. Kau adalah langit, kau adalah bumi. Dan lihatlah kau, sang pengendara tubuh, yang hidup abadi tanpa perlu memakan buah khuldi.

Carilah aku. Kau akan mengetahui dirimu sendiri.
Aku ingin diketahui dan ditemukan!
—o0O0o—

“Silakan Mas Mim,” Pak Said menawarkan suguhan di depan kami dengan ramah. Demikianlah adat di sini, mendahulukan yang berada di sebelahnya. “monggo, Pak.”
Ketika kuteguk teh hangat, Pak Mardi membuka suara. “Malam ini berat sekali kita mengangkat Marno. Tidak seperti malam kemarin! Mungkin roh yang membawa-nya, menahannya erat-erat hingga ia tidak bisa pulang.”

“Betul, Mas Mardi,” keluh Pak Matang, salah satu tetua kami, “tadi, saat saya memejamkan mata, saya melihat Mas Marno ngawe-awe[4] kita semua dari pintu depan”. Keruan saja kami bersembilan, dan pemuda di luar melihat pintu yang bisu itu. Bulu kudukku meremang asing. “Dia sebenarnya sudah dekat”.

“Mungkin ada ritual yang kurang?” tambah Pak Harpun sambil melahap kue lapis, “masih kurang satu malam. Harapan kita, dengan selesainya yasinan besok, segala urusan dimudahkan. Kita sudah membersihkan rumah ini, sudah mencoba berkeliling desa, sudah minta bantuan polsek, tapi belum berhasil juga.”

“Begini, bapak-bapak,” Pak Mardi menengahi, “mungkin kita perlu membersihkan sungai yang sering dipakai Marno mandi. Banyak sampah di sana, dan telah menyumbat aliran air. Siapa tahu yang membawa Marno marah karena kita berbuat tidak sopan”.

“Sampah itu kan berasal dari desa Sindudadi, yang ada pabrik susunya itu! Kita sudah menisahkan sampah organik dan non-organik? Yang organik ditanam di tanah, yang bukan, diangkut ke TPA. Kenapa kita yang dimarahi?” Pak Slamet Mulyadi terpancing. Aku memandang berkeliling, ingin mendengar pendapat lain.

“Jangan keras-keras Pak, siapa tahu pembawa Mas Marno ada di sini mengintip kita,” kata Pak Harpun pelan. Yang lain mengangguk setuju.

Salah seorang putra Pak Mardi, Salim, datang dan berbisik kepada ayahnya. Dari ruang tengah, beberapa berkat dikeluarkan. Gula pasir, teh, nasi gurih, telur ayam, kolak, dan beberapa hal lain. Yang unik, kulihat ada mie instan di sana. Setelah diputar dan semua mendapatkannya, Pak Mardi matur, “monggo Bapak-bapak. Ini ada berkat ala kadarnya, sebagai ungkapan terima kasih kami atas bantuan Bapak sekalian.”
“Nggih, dari kami, matur nuwun juga Pak Mardi. Semoga, Mas Marno enggal dipunwangsulaken[5] kepada kita semua. Amiin,” sambut Pak Harpun.

Lalu, dengan wajah yang terlalu lelah, satu demi satu yang membacakan surat ke-36 itu surut, berjalan lenyap di kegelapan malam, kembali ke rumah masing-masing.
—o0O0o—

“Kileken, Mim…” Ayu yang menungguku pulang, berbicara lembut. Wajah yang kusut-masai hilang seketika. “Juga dikenal sebagai penanda. Jika ia telah tampak di langit pagi dan ada seorang Masai yang belum pulang dari perburuan, para wanitanya akan berdoa demi keselamatannya. Ya, jika ada yang hilang.”

Mas Marno memiliki penjaga, ‘Sang Ayah’, yang membantu kelahirannya di muka bumi. Belakangan, menurut Ayu, terjadi pelanggaran ketika keluarganya memaki Mas Marno berlebihan. Hal itu sering terjadi, dan akhirnya tiba di puncak. Lebih dari 40 hari lalu setelah ia jagong[6] dalam mantenan Mas Rahmat, dalam keadaan lelah, ia dimaki lagi. Mas Marno tentu bukan orang pendendam. Akan tetapi, yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat. Para penjaganya, ‘Sang ayah’ dan beberapa roh lain, marah dan menariknya keluar, tak terlihat di sini meski ia ada.

“Kamu percaya bahwa setiap dari kita memiliki penjaga?” kataku mulai skeptis lagi. “Tentu. Mereka adalah kamu sendiri sekaligus bukan kamu. Kamu pernah merasa aneh dengan para skeptis yang tidak percaya Tuhan, tapi tidak mempermasalahkan keberadaan ide? Dari mana kamu menganggap ide itu nyata, Mim? Ia abstrak, tapi kalian para penggila sains melakukan diskriminasi hanya karena ia berada di dalam diri kalian,” dan Ayu mulai berfilsafat lagi. “Bukan masalah percaya atau tidaknya, Mim. Ada dan tidak ada itu subjektif, keduanya membutuhkan satu sama lain. Dan, meng-anggap tidak ada sebagai tidak ada itu seperti lawakan.”

Aku tak mau mendebatnya. Venus yang kini kukenal juga sebagai Kileken. Venus yang indah sekaligus berpermukaan hancur. Neraka yang dibayangkan dan gambaran neraka yang ditampakkan. Sungai yang hancur di sini dan air Venus yang telah menguap lenyap. “Dualitas, Mim. Cobalah terangkan dengan sains. Kalian selalu berteori dulu baru mencocok-cocokkannya dengan eksperimen. Hasil eksperimen itu mau tidak mau, harus mirip dengan teori. Beruntunglah kamu yang kehilangan ayah di usia 21 tahun. Ketika tidak ada adalah ada dan sebaliknya”, Ayu beringsut untuk merebahkan diri ke pangkuanku. Lampu kami masih terlalu terang. Taburan langit nun jauh di atas sana terbidik dari salah satu genteng kaca.

“Mengapa tidak ada cerita dari suku-suku kita yang kamu kisahkan?” kubelai lembut rambutnya. Ayu tertawa pelan, “bukankah lebih indah melihat yang jauh-jauh daripada yang dekat-dekat? Kamu belum mengenal dirimu, karena itu Tuhan memper-lihatkan alam semesta. Maka, betapa jahatnya mereka yang menyakiti alam? Jahat pada diri sendiri karena membuat mereka makin asing, makin tidak mengetahui?”

“Kamu tidak ikut memikirkan Mas Marno?” tanyaku. Tidak pula kamu menentang syirik, Ayu. Tidak pula kamu menghimbau ibu-ibu PKK untuk mengingatkan sang suami. Ketika menjadi mahasiswa dulu, tidak pula kamu berdiri menjadi demonstran menentang pembalakan liar. Kamu hanya bercerita bahwa suatu saat bumi kita akan menjadi Venus kedua jika kita gagap.
“Untuk apa? Dia akan pulang minggu depan. Tanpa ritual yang kauanggap syirik. Tanpa perlu takut pada ‘Sang Ayah’ yang misterius yang kauanggap tidak ada”.
Kamu membingungkanku… selalu demikian.

“Ruh itu satu, Mim. Memanggil semua jiwa yang diperintahnya. Akan tetapi, mereka yang tergila-gila pada sains tidak pernah bisa mengetahui panggilanNya.”
Aku tidak tahu lagi. Mas Marno dan aku, aku dan Kileken. Yatim pengembara.
Kembar yang pelik.
—o0O00—




31 Mei 2009



[1] Shah, Idries. 2000. Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi (Terj. M. Hidayatullah dan Roudlon). Surabaya: Risalah Gusti. Hlm. 12
[2] Mari dibaca bersama-sama. Akan saya pimpin (Bhs. Jawa)
[3] Bowering, Gerhard. 2003. Gagasan tentang Waktu dalam Sufisme Persia (terj. Gafna Raizha Wahyudi). Yogyakarta: Pustaka Sufi. Hlm. 15.
[4] Melambaikan tangan (bahasa Jawa)
[5] Segera dikembalikan (bahasa Jawa)
[6] Duduk mengobrol sepanjang malam (bahasa Jawa).