Semua jamaah tercengang mendengar ucapan kurang ajar kakek-kakek itu.
Punggungnya bungkuk, matanya bahkan seperti kelelahan untuk membuka
saja. Empat orang yang tadi mengiringinya memandang nyalang ke arah haji
Hasan. Tiga pemuda gagah dan seorang perempuan cantik.
—o0O0o—
Haji Hasan geleng-geleng kepala, “Kakek, belajarlah.”
“Aku melihat apa yang tidak bisa kamu lihat!” bentak si kakek.
“Penyakit orang tua, semakin uzur dia semakin lupa,” bisik seorang jamaah kepada yang menggerak-gerakkan butir-butir tasbih.
“Aku takut kalau dia mati, dia akan masuk neraka. Sudah hidup lama sampai serenta itu, segalanya akan sia-sia!” yang berbaju koko membisiki jamaah di sampingnya, yang mengenakan celana yang bagian bawahnya dilipat hingga mata kaki.
Tidak lama kemudian, bagian dalam masjid itu penuh dengan dengungan. Bisik-bisik yang makin lama makin keras. Tiga pemuda itu tersenyum sinis, salah satu yang membawa gitar kecil, memetik senarnya.
“Jangan bermain musik!” bentak seorang jamaah dengan muka merah.
“Aku cinta padamu,” kata perempuan cantik itu sambil memejamkan mata, mengenggam erat tangan di depan dadanya.
“Jangan berbicara yang tidak pantas!” bentak jamaah lainnya.
“Kalau begitu, berikan semua harta yang ada di kas masjid ini,” kata si kakek memanaskan kuping.
“Dia memanfaatkan kemiskinannya untuk merampok kita!” keluh jamaah yang tadi memutar-mutar tasbihnya kesal.
“Kakek, kamu tidak berhak merebut harta Allah.”
“Hartamu, monyet!” pemuda yang di samping pemuda bergitar kecil, angkat bicara. Dia mengacungkan jari tengah ke depan yang terakhir bicara.
“Kami miskin.”
“Kalian mampu!”
“Kalau begitu Tuhan sudah mati kemarin sore,” jawab pemuda yang paling dekat dengan si kakek, “dikubur kalian di masjid ini. Ayo, keluarkan jasadnya, biar kami mandikan dan kami kafani dengan kain putih paling murah!”
“Dia menghina Tuhan! Dia sesat!” jamaah lain berkomentar.
“Kakek, Mas-mas, dan Mbak yang cantik,” haji Hasan memandang lebih lama pada perempuan itu lalu mengusap mata dan berbisik lemah seperti berkata ‘astaghfirullah’. Ia membenarkan letak duduknya, “bertaubatlah. Ampunan Tuhan sangat luas, melebihi langit yang tiada batas. Kembalilah ke jalan yang benar.”
“Jalan yang dibuat siapa? Orang tua kalian? Kakek kalian? Kakek buyut kalian? Berapa jauhnya jalan itu? Melebihi jalan aspal di sebelah masjid? Berapa biaya pembuatannya, berapa lama pengerjaannya, dan berapa yang mati olehnya?” si kakek terus berkata, dia semakin memejamkan mata.
“Pak Haji, kita usir mereka baik-baik. Kalau tidak mau, kita panggil orang dari polsek,” kata jamaah yang berkumis lebat, wajahnya garang.
“Ayo, kemarikan harta masjid ini. Ayo, keluarkan jasad Tuhan!”
“Tuhan tidak pernah mati! Tuhan kekal abadi! Tuhan tidak tinggal di dunia, Dia ada di singgasananya di atas tujuh langit!”
“Dia tidak ada di masjid ini tapi kalian menyebut masjid rumah Tuhan!”
“Itu kiasan, kakek idiot!”
“Itu nyata, bajingan!” sekali lagi pemuda itu mengacungkan jari tengahnya. Haji Hasan menelan ludah, memandangi jamaahnya yang sudah terbakar amarah mendengar ucapan-ucapan menghina dari kelima ah, keempat orang itu. Si perempuan belum bicara selain berkata ‘aku cinta padamu’.
“Kakek,” perempuan itu menggeser letak badannya, memandang wajah kakek dengan pandangan penuh cinta, “Tuhan dikubur di pengimaman. Haji itu yang melakukannya.”
Haji Hasan memandang kesal. Ia sudah berusaha untuk tidak melibatkan perempuan itu dalam keburukan, justru si cantik ini yang menuduhnya, memfitnahnya, “Mbak, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.”
Sang perempuan tersenyum, menoleh ke arah haji Hasan. Sedetik terasa begitu sebentar bagi setiap yang melihat gerak itu, ingin melihat yang lebih dari itu. Bibirnya yang pucat berucap dengan suara yang paling manis, “menuduh orang memfitnah, apakah tidak lebih kejam dari pemfitnahan?”
Di saat lain, detik itu seperti berhenti di hati haji Hasan.
“Tuhan tidak terlihat,” kata jamaah yang paling dekat dengan haji Hasan seolah memantapkan keyakinannya bahwa semua pendatang menjelang asar ini adalah para orang yang tersesat. Mereka harus disadarkan. Kalau tidak, terpaksa harus dimusnahkan. Itu pilihan terakhir, seburuk-buruk pilihan.
“Apa yang kalian lihat dari wajah saya?” kata perempuan cantik.
Dada jamaah benar-benar meledak sebenar-benarnya meledak. Bahagia karena perempuan itu, belum pernah mereka melihat ada yang secantik dia. Marah dan memaki, karena perempuan itu menganggap wajahnya adalah Tuhan!
“Selain kecantikan?” bibir haji Hasan bergetar ketika mengucapkan itu. Sungguh malu ia bertanya pada orang yang salah.
“Cahaya.”
Haji Hasan menoleh, mencari-cari orang yang mengucapkan kata tadi. Sependengarannya, suara itu berasal dari deretan di belakangnya, para jamaah yang setia padanya, yang memandang benci pada para orang tersesat di depannya. Akan tetapi, tidak ada yang dirasanya mengucap, tidak ada yang mengaku. Haji Hasan berbalik dan mengamati wajah perempuan cantik itu lebih lama dari sebelumnya, mencari-cari cahaya yang dimaksud suara tanpa identitas tadi.
“Mana cahayanya?” bisik seseorang di sebelahnya kepada jamaah lain. Di sisi ini, haji Hasan menghela nafas lega. Tidak hanya dia yang tidak bisa melihat cahaya di wajah perempuan itu, dengan catatan bahwa si perempuan tidak sedang berbohong dan mempermainkan degup jantung mereka dengan kemolekannya.
“Sudahlah, kalian tidak akan menemuinya. Berikan saja hartanya, semua hartanya,” pemuda bergitar kecil menyadarkan lamunan haji Hasan.
“Itu uang infak, untuk kepentingan masjid.”
“Apakah orang kelaparan bukan kepentingan masjid?”
Haji Hasan menyadari kelima orang ini, sekarang sudah benar-benar kelima orang ini, tidak akan mengalah. Dia melihat jam, sebentar lagi waktu asar. Urusan tidak penting ini harus segera diselesaikan. Salat dianjurkan dikerjakan di awal waktu. Ia harus malu kalau salat tertunda, apalagi sekarang mereka ada di masjid.
“Baiklah Kakek, Mas-mas, dan Mbak, saya akan memberi uang. Berapapun yang kalian minta,” haji Hasan mengambil dompet dari balik sarungnya.
“Harta masjid ini!” kakek tetap ngotot.
“Seratus ratus ribu? Itu cukup untuk makan beberapa hari.”
“Harta masjid ini!
“Dua ratus ribu?”
“Harta masjid ini!”
“Dua ratus lima puluh ribu!” haji Hasan cuma membawa uang sejumlah itu. Ia berputar, melihat ke jamaah di belakangnya, “ada yang membawa uang selain saya?” menatapi satu-satu. Jamaahnya menunduk, tidak ada yang berani melihat.
Haji Hasan kesal, kenapa tidak ada yang mau memberi?
“Pak Adib,” suara haji Hasan melambangkan perasaan hatinya. “Pak Adib punya berapa?”
Pak Adib tidak mau melihat, benar-benar tidak mau. Haji Hasan mendengus, “Pak Adib dua bulan lalu infak tiga ratus ribu untuk merombak tempat wudhu!” katanya mengingatkan, tapi Pak Adib diam seperti terhanyut dalam lamunan.
“Pak Ahmad?” haji Hasan melimpahkan kekesalannya pada penyumbang dua ekor kambing di lebaran haji tahun lalu.
Pak Ahmad juga terlarut dalam lamunan. Ah, apakah wajah perempuan cantik itu yang ada di dalam pikirannya? Sempat juga haji Hasan berpikir begitu.
“Bapak-bapak yang lain?”
Dan seperti tadi, tidak ada yang mengangkat kepala.
“Cuma ini yang saya punya,” putus haji Hasan.
“Harta masjid ini! Kami mau harta masjid ini!”
“Saya adalah ketua takmir masjid ini. Harta saya ini, anggap saja harta masjid ini, Kakek, Mas-mas, Mbak,” haji Hasan makin putus asa.
“Kalau begitu, berikan rumah Pak haji, mobil Pak haji, dan tabungan Pak haji,” perempuan itu berkata dengan lembut. Haji Hasan menelan ludah, “bukan itu yang saya maksud. Uang yang saya bawa ini, ambillah.”
“Mengapa Pak Haji ngotot tidak memberikan harta masjid ini?” sepertinya sang perempuan sudah menjadi juru bicara sang kakek. Haji Hasan sedikit lega menyadari hal ini. Setidaknya, ia tidak perlu melihat lama-lama wajah yang menyebalkan itu.
“Mengapa mbak ngotot meminta harta masjid?”
“Karena kami miskin. Lalu, mengapa masih ngotot?”
“Karena infak itu rencananya digunakan untuk membangun TPA di sebelah masjid. Rencana itu datang lebih dulu daripada kakek yang meminta lebih dari duaratus lima puluh ribu rupiah.”
“Kenapa yang datang terakhir tidak diberi dulu?”
“Bagaimana pertanggungjawaban saya pada masyarakat?”
“Bagaimana pertanggungjawaban saya pada Tuhan?”
Haji Hasan merasa kata-kata perempuan itu sudah keterlaluan, “memangnya Mbak siapa? Mengapa merasa harus bertanggungjawab pada Tuhan karena kami ingin membangun TPA?”
Perempuan itu menoleh ke kakek lalu ke teman-temannya yang mengangguk seperti sepakat akan melakukan sesuatu. Haji Hasan berdebar-debar, kalau kelima orang ini mau menyerang, rasanya tidak mungkin. Jumlah jamaahnya terlalu banyak.
—o0O0o—
“Pak Haji mau melakukan salat asar?” tanya perempuan itu.
“Ya, sebentar lagi. Marilah kita salat bersama,” bujuk haji Hasan.
“Kalau begitu kami permisi. Maaf kalau sudah merepotkan.”
“Ini uangnya,” disodorkannya uang yang sudah bercampur keringat itu.
“Simpan saja. Barangkali Tuhan versi pak Haji lebih membutuhkan,” perempuan itu berdiri. Ingin rasanya Haji Hasan menampar bibir pucat-tipis itu, selain mengecupnya. Kakek itu dibopong dua orang pemuda, dan pemuda bergitar kecil itu memetik senarnya kembali.
“Jangan bermain musik! Sudah saya bilang!” teriak yang mengingatkan pertama kali makin kesal.
Tamu harus dihormati. Karenanya, haji Hasan berdiri untuk melepas kepergian tamu-tamu tak dikenal itu. Kakek menoleh, lalu dibopong pergi. Pemuda bergitar memetik gitar kecilnya lagi, tapi tidak ada yang mengingatkan karena dia pasti segera pergi setelah kekacauan ini.
Perempuan itu mendekati haji Hasan. Hatinya jelas bergetar, perempuan itu terus mendekat dan berbisik lemah di telinga sang haji, “saya sudah sering melihat yang seperti ini. Harga Tuhan cuma dua ratus lima puluh ribu. Bapak yang membunuhnya di hati bapak.”
Muka haji Hasan memerah. Perempuan itu mengangguk, tanpa salam dia berbalik dan pergi. Di punggungnya yang terlihat bergerak, haji Hasan seperti melihat ada keringanan yang luar biasa.
Lama haji Hasan berdiri terdiam. Jamaahnya kebingungan, adzan harus diperdengarkan, tapi melihat sang pemimpin membisu, itu suatu yang mampu menahan mereka bergerak.
“Tuhan, jangan bunuh aku buru-buru, panjangkan umurku…” bisik pak Haji lemah. Cuma mereka yang dekat dan yang memperhatikan saja yang mendengar bisikan itu.
Oktober 2007
Memanjangkan yang tidak akan pernah panjang
No comments:
Post a Comment