“Seseorang itu tergantung yang dicintainya” (H.R. Bukhari)
—o0O0o—
Puluhan tahun lalu, seorang perantau nekat bersepeda melintasi ratusan kilometer jarak dari Ibukota kembali ke kampung halamannya, sebuah dusun terpencil di batas Wonogiri. Tindakan gilanya itu adalah bentuk protes. Protes bisu kepada masyarakat yang terjerat oleh jaring laba-laba ciptaan mereka sendiri. Kaum melarat di tanah kelahirannya menggaruk-garuk uang. Kaum berperut buncit di tanah impiannya —yang setiap jengkal tanahnya dibebani ribuan pajak itu— hanya berbicara kalau ada uang. Akan tetapi, tidak ada yang peduli padanya. Roda sepeda berputar, zaman berganti. Kisah perantau itu menggumpal sekian lama. Disebarkan turun-temurun dengan celaan.
Bumi berputar, sejarah berulang. Lalu, kalau sekarang orang yang berbeda —siapa dia?— berjalan dari kampusnya menuju rumah kecil di barat Jogja yang terpaut 17 kilometer, aku tidak tahu apakah dia sedang melakukan protes bisu yang sama ataukah tengah berpetualang yang bagi orang lain bagai kutukan.
Orang-orang kalah, adalah kumpulannya.
—o0O0o—
Mari kita sebut orang ini sebagai mahasiswa kita.
Hari ini dimulainya dengan manis. Bus penuh sesak itu ditumpanginya menuju kampus. Di tengah kerumunan anak SMA, ibu-ibu yang hobi belanja, dan bakul tua, dia menyerahkan tiga lembar ribuan kepada kernet bertopi.
“Turun mana, Mas?”
“Bunderan, Pak,” jawabnya ramah.
Sang kernet manggut-manggut, tidak mengembalikan kelebihan Rp 500,00. Mahasiswa kita tidak memintanya. Kernet pun leluasa menjawil anak SMA cantik berbando kupu-kupu yang ada di belakangnya, lalu ke belakang lagi, lalu ke belakang yang lebih belakang lagi.
Terjadilah teriakan pertama pagi ini di bus tua itu.
Ibu-ibu berbedak tebal yang duduk manis, mencak-mencak kepada kernet barusan karena ketika menyodorkan Rp 2.000,00, sang kernet masih meminta tambahan lagi:
“Zaman susah kok malah main pungli. Ra reti kahanan[1]!”
“Dua ribu nggak laku, mbokdhe[2]. OSIS[3] saja berani segitu!” balas kernet.
Kericuhan bangku paling belakang tidak kalah kelas. Ibu-ibu bergincu merah membara, marah-marah kepada anak sekolah yang duduk santai sementara sang ibu berdiri kecapekan.
“Ada orang tua berdiri kok didiamkan saja. Dipersilakan, kek!”
Ketika orang lain bersungut-sungut kepada bocah tak tahu sopan-santun itu, tokoh utama kita ini, malah memandangnya lembut.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—
Mahasiswa kita turun di depan halte. Di sana ditemuinya laki-laki kumal yang tiduran tak nyenyak, bersebelahan dengan gadis cantik berkacamata yang memandang agak bergidik. Yang pertama sepertinya putus asa oleh kerja. Yang kedua, sepertinya hendak mencari hal yang di-putus-asa-i laki-laki kumal tadi, terlihat dari stopmap hijau yang ditenteng. Di tembok sebelah halte, tertulis grafiti yang hurufnya besar-besar berwarna merah, “Tolak UU Pornografi!”
Mahasiswa kita melanjutkan perjalanan, menuju masjid besar, melalui bagian timur. Di saf terbelakang masjid itu, beberapa orang tengah bertelekan. Ada pula yang belajar. Diskusi. Tanggal-tanggal ini, musim midsemester kuliah. Sepatu bermerk terkenal hampir berserakan di lantai terluar.
Seorang pengurus masjid yang sedang menyapu lantai, datang menghampiri sepatu-sepatu itu. Mengaturnya rapi. Pengurus masjid ini masih muda, tampan, berjanggut tebal, berbaju koko, dan mengenakan peci putih. Mahasiswa kita tidak sengaja bertumbukan mata dengannya saat melepas sepatu sebelum ke tempat wudhu.
Setelah wudhu di pancuran, mahasiswa kita masuk ke ruang masjid yang begitu lapang. Dilihatnya sejenak lampu raksasa melingkar yang niscaya akan menaungi jamaah dengan cahayanya. Pagi ini tidak dinyalakan. Dia takbir, sembahyang dhuha dua rakaat di saf pertama. Sekali lagi, suasana sepi, lengang. Tak ada orang selain dia di barisan terdepan. Jarum jam yang pendek sudah berlari ke arah delapan.
Sejenak kemudian, mahasiswa kita sudah kembali ke lantai terluar, menyimpul tali sepatu, hendak kuliah. Pengurus masjid tadi, yang diam-diam mengamati gerak-gerik mahasiswa kita, mendatanginya. Sang pengurus duduk dengan sopan di sebelah mahasiswa kita dan angkat suara,
“Mas, lain kali, kalau salat subuh ingat waktu.”
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—
Mahasiswa kita kuliah. Ujian midsemester. Semua mahasiswa, yang paling jarang datang sekalipun, berada di barisan terbelakang. Ah, mari kuberikan candaan: “soalnya mudah tetapi jawabannya sulit!”. Beberapa orang di deretan belakang, yang kemarin menempelkan seruan demonstrasi antikenaikan BBM, saling bertanya. Seorang di antaranya nekat mengeluarkan catatan panjang.
“nomor enam, nomor enam…”
Kepala berputar-putar. “nggak terbaca. Sini saja!”
Kertas contekan berpindah tangan, berantai.
Mahasiswa kita merengut dan mengerjakan soal secepatnya. Memberikan lembar jawaban kepada pengawas ujian, asisten dosen, yang kebetulan teman seperbincangannya. Sang pengawas mengerling, “Titip salam ya, buat Ayu!”
Mahasiswa kita tersenyum.
Kuliah tadi adalah satu-satunya kuliah hari ini. Kuliah kedua, kosong. Tidak ada tugas. Kuliah ketiga, kosong juga. Dosen sedang sibuk mengerjakan disertasi.
Perpustakaan sudah tutup pukul 14.45. Saatnya pulang.
Dalam perjalanan menuju tempat perhentian bus, mahasiswa kita berhenti di masjid sepi yang baru kali ini didatanginya. Tak semegah masjid tempat salat dhuha tadi. Bahkan atapnya ada yang sudah bocor, terlihat ada warna hitam di sana. Jamaah asar. Jamaahnya sedikit pula. Seorang tukang semir, seorang pedagang angkringan, pemuda masjid, dua orang anak kecil, dan seorang bapak-bapak berdasi mengkilap. Mahasiswa kita imamnya. Setelah selesai salat, bapak-bapak tadi memasukkan uang warna merah ke dalam kotak infak.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—
“Mas, mas, tolong berhenti sebentar.” (mahasiswa kita selalu berjalan cepat, tidak ada yang bisa menyainginya dalam hal ini.)
“Ya, Pak?”
“Anu, begini. Tahu di mana pasar sepeda bekas di sekitar sini?”
“Wah, saya tidak tahu Pak,” mahasiswa kita memperhatikan lebih seksama.
“Begini. Saya tadi membawa bapak saya ke rumah sakit. Ketika pulang, eee… sepeda saya dicuri orang! Kurang ajar sekali dia! Padahal Mas, uang saya ketinggalan di rumah dan saya tidak membawa sepeserpun sekarang.”
Mahasiswa kita memegang bagian depan tasnya.
“Kalau Mas nggak keberatan, bolehkah saya meminta uang untuk ongkos bus, pulang? Saya khawatir bapak saya nanti tidak diurus kalau belum ada bayaran.” Dan mungkin kebanyakan laki-laki ditakdirkan sebagai perayu sehingga mahasiswa kita mau-mau saja meski dia hafal betul trik murahan ini. Diberikan-nya tiga lembar ribuan.
Seorang abang becak yang sudah tua lewat, melintasi mereka, memandang iba entah kepada siapa. Sang penipu pura-pura menolak uang tersebut, “jangan sekarang Mas. Malu aku dilihat tukang becak. Kayak aku ini penipu saja!”
Mahasiswa kita memastikan abang becak telah pergi jauh, baru memberikan uangnya lagi. Sang penipu, matanya bercahaya, “makasih, Mas!”
Mahasiswa kita tersenyum, berjalan membelakangi aktor terbaik hari ini. Meninggalkannya yang barangkali tersenyum juga.
Kawan, mahasiswa kita cuma memiliki uang saku Rp 6.000,00. Kalian pasti tidak percaya, tapi di dunia ini, mana ada yang boleh dipercaya? Rp 5.000,00 digunakan untuk perjalanan, dan Rp 1.000,00 kalau ada apa-apa di kuliah. Aih, sekarang uang itu habis. Mau naik apa mahasiswa kita? Dia melihat langit. Langit sedang biru cerah. Awan-awan raksasa menggulung-gulung. Dia berkeputusan untuk jalan kaki! Aih, berjalan kaki…
Kilometer adalah batasan manusia, seperti halnya motor.
Mahasiswa kita tersenyum.
—o0O0o—
Mahasiswa kita mulai menempuh jarak. Disusurinya jalan raya yang anggun. Berbadan gemuk, menampung dua aliran kendaraan yang tak berhenti bergerak sepanjang sore menjelang senja ini. Entah mengapa, semakin waktu merayap, semakin kuning-keemasan langit barat, semakin cepat pula laju kendaraan. Seolah ketakutan tentang malam menghantui sang pengendara, seperti dikejar-kejar sesuatu yang akan menerkam hidup-hidup.
Mahasiswa kita sesekali menengadah langit. Hal itu dilakukannya setelah melihat sesuatu sepanjang langkahnya. Kali ini ia memandang sebuah pabrik sepatu, agak lama. Pabrik yang tertutup dan di depannya ditancapi baliho-baliho warna oranye itu bisu, tapi seperti berbicara dengannya. Ya, mari kukisahkan sejenak…
Beberapa bulan lalu, pemilik pabrik ini bertikai dengan para pekerja. Pertikaian tentang gaji berlarut-larut. Puncaknya adalah aksi pendudukan pabrik oleh pekerja. Hai! ini bukan guyonan, tapi benar-benar terjadi! Sayangnya, mereka menduduki bagian luar saja, tidak sepenuhnya menguasai pabrik. Satpam dan polisi —siapa yang mengundang mereka?— dikerahkan. Pabrik ini terletak di pinggir jalan. Bayangkan betapa menyemutnya lalu-lintas saat itu! Pekerja mundur, tak mau baku hantam karena ingat anak-istri barangkali.
Pabrik ditutup dengan seng berlapis. Pekerja tumpah ke jalan, bergerombol. Beberapa yang masih nekat, menuliskan kata-kata kasar di seng tersebut. Senja datang, pertikaian mereda. Pulanglah mereka ke keluarga. Makan adalah urusan masing-masing.
Pagi harinya, ada yang menggelikan tetapi benar-benar terjadi. Di sebelah coretan-coretan pekerja, ada coretan pula. Kali ini lebih besar. Mungkin dikerja-kan semalam: “Merusak dan mengganggu hak milik orang lain bertentangan dengan undang-undang!” Kami (aku dan mahasiswa kita) tidak tahu kelanjutan nasib para pekerja, yang jelas pabrik itu tutup sekian lama. Hari ini, pabrik itu telah berganti nama. Yang awalnya Jawiya menjadi Dawiya. Entah pemiliknya.
Mahasiswa kita mendesah pelan. Ya, mahasiswa kita merekam dengan baik karena dua dari sekian pekerja pabrik itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Dilihatnya langit jauh, lalu berjalan lagi.
—o0O0o—
Mahasiswa kita masih berjalan pulang. Kali ini di seberang sana, terlihat toko yang sedang obral sepatu dan sandal. Ditampilkan begitu saja di pelataran depan toko. Salah satu penjualnya, memiliki cara jitu. Ia duduk di sebuah kursi dan menggunakan megaphone. Banyak yang berburu. Setiap kali ada orang yang menawar, diucapkannya ulang, dan itu jelas mengundang reaksi. Orang tak mau menawar murah-murah karena takut ditertawai orang, dan harga murah itu tetaplah murah: Rp 5.000,00–Rp 25.000,00. Maklum, saat-saat seperti ini, daripada memikirkan tabung seberat 12 kg, mending memikirkan alas kaki.
Mahasiswa kita tersenyum manis, lalu berjalan lagi.
Bicara tentang harga diri, aku mengingat sesuatu tentangnya. Jumat lalu, selesai salat Jumat di masjid kampungnya, seorang anak kecil memanggilnya dan mengajak bersalaman dengan riang. Ini permainan antara mahasiswa kita dan anak kecil itu, hanya mereka berdua. Ketika bersalaman, jari telunjuk dimanfaat-kan untuk menggelitik telapak tangan. Cobalah, rasanya geli-geli menyenangkan. Anak itu, meski ompong, nyengir: “Mas, gendong sampai rumah, Mas!”
“Ayo!” kata mahasiswa kita menantang dan benar-benar menggendongnya. Jamaah lain mengamati mereka aneh, seolah tindakan itu salah. Kalian tahu, orang-orang itu kebanyakan berinfak di kotak kayu berlubang sempit. Kalian tahu, mereka termasuk orang yang giat berkata ukhuwah islamiyah. Mahasiswa kita bahkan tetap mengajak ngobrol teman seperjalanannya, salah satu yang paling risih mengamati kedekatannya dengan sang anak.
Ada kisah lain. Saat musim takjilan[4] tiba, anak-anak berjumpalitan kesana kemari, malas mendengarkan, bercerita sendiri, dia selalu mengajar dengan senyum. Seorang anak yang tak tahan dengan gaya mengajarnya bertanya: “Mas, kok nggak pernah marah sih?”, membuka kedok mereka sendiri, bahwa kenakalan anak-anak itu hanya trik agar dimarahi. Mahasiswa kita tetap saja tersenyum. Saat menanti salat maghrib, semua anak laki-laki patuh padanya meski tak jarang mereka menggodanya, menarik perhatian, lebih dari yang dilakukan terhadap pengasuh lain.
—o0O0o—
Mahasiswa kita masih berjalan, dan terus berjalan. Rumah masih cukup jauh. Senja sudah menggulung awan lenyap di baratnya barat. Ya, awan bagai selimut yang meluas jauh, dan matahari tinggal warna merah-oranye yang pudar. Langit sudah ungu. Sisa awan yang masih ada, seperti noda-noda biru tua di langit.
Di sebuah jarak, dilihatnya beberapa pasang kekasih di sebuah rumah makan pinggir jalan. Ada yang makan berhadapan. Sang lelaki menyeka pipi kekasih. Ada yang makan bersebelahan. Yang perempuan sempat menyandarkan kepala ke bahu kekasihnya yang sibuk memencet-mencet tombol di handphone. Sementara itu, petugas penjaga parkir, setelah melihat kemesraan mereka, membaca lagi korannya, membolak-balik dengan resah, seperti sedang mencari ramalan bintang minggu ini.
Tak lebih lima puluh meter dari rumah makan romantis itu, mahasiswa kita menemukan sepasang kekasih lain. Yang laki-laki tengah memeriksa ban motor-nya, dan yang perempuan melihat sang kekasih. Tak jauh di depan mereka, seseorang yang duduk di depan tempat tambal ban, memandang mereka resah, seperti ikut berkepentingan. Sebuah bendera partai berkibar di sisi kanan tempat tambal ban itu, berlatar hitam.
Ngomong-ngomong tentang cinta, mahasiswa kita mempunyai kekasih: orang yang dicintai. Bersama dua teman laki-laki lain, mereka membentuk kelompok yang namanya susah disebut. Mereka sering mempost sesuatu di blog mereka, entah itu sajak, entah itu cerpen, entah itu makalah. Pengunjungnya cukup banyak. Mereka juga sama seperti demonstran lain, menyebarkan selebaran. Bedanya, isinya puisi cinta. Aih, ya… kekasih mahasiswa kita, seorang pejalan kaki juga. Mereka tidak berpacaran, tapi belajar, kata teman dekatnya. Jangan bertanya apakah mereka bergandengan tangan atau bergandengan hati.
—o0O0o—
Hampir azan maghrib ketika mahasiswa kita tiba di rumah.
Mangga ranum yang letaknya menggelantung ke tepi jalanan —tapi terlalu tinggi untuk dipetik anak-anak iseng— tertiup angin, mengangguk, memberinya ucapan selamat datang. Rumah masih gelap. Tampaknya pemadaman bergilir tengah merayapi wilayah ini. Pantas pula sejak tadi, dalam perjalanannya, maha-siswa kita seperti berada di kota mati. Warna yang kabur-gelap bahkan tampak sedikit lebih bercahaya. Seperti dunia abu-abu, di bawah langit ungu hampir kelabu pula. Sepi, kosong. Seorang tetangga nganggur —mantan buruh pabrik Jawiya—, duduk di amben depan rumah yang berhadapan dengan rumah mahasiswa kita. Pura-pura cuek waktu mahasiswa kita lewat dan menyapanya manis. Mungkin malu, entah karena apa. Beberapa hari lalu, motornya terpaksa dijual diiringi ancaman cerai oleh sang istri yang diucapkan keras-keras.
“Asalamualaikum,” mahasiswa kita mendorong pintu.
“Waalaikumsalam,” sahut yang di dalam. Suara perempuan. Lalu, sebuah lampu teplok dibawa perempuan tadi, ibu mahasiswa kita, ke ruang tengah, tempat mahasiswa kita sekarang duduk selonjor melepas lelah dan sepatu.
“Jalan kaki lagi, ya?” ibunya tersenyum. Nyala api merah-kekuningan menggaris warna yang nyata di guratan senyum itu. “Kamu terlalu baik pada orang lain, sih. Malah tidak baik kepada diri sendiri.” Ibu mahasiswa kita ini tampaknya sudah paham betul. Apakah mahasiswa kita sudah terlalu sering melakukan perjalanan tak masuk akal ini?
Di rumah sebelah, yang jaraknya tak ada semeter dari rumah ini, terdengar bunyi perabot jatuh. Mungkin wajan. Mungkin tersenggol tikus atau apa.
“Asem ki[5]!” teriak tetangga. Mahasiswa kita menoleh keluar, melalui jendela besar yang menampung hampir setiap gerakan di senja itu. Sandal jepit melayang hampir menghantam kucing yang menggondol sesuatu. Tetangga buru-buru keluar, mengambil sandalnya yang mampir ke halaman rumah mahasiswa kita. Dia mantan buruh pabrik Jawiya juga. Cerai dengan istrinya sejak dua bulan lalu.
Tetangga yang duduk di amben di sana, yang sama-sama di-PHK, seperti bicara sendiri keras-keras, “PLN ki piye? Pemadaman ora ngomong-ngomong ndhisik! Lha, arep ndelok bal-balan rak yo ra iso to, nek ngene[6]?”
Yang memungut sandal, nyeletuk sambil memeriksa kalau-kalau sandalnya bedhat, putus, “ngendi lawan ngendi to, Lik[7]?”
“Indonesia lawan Malaysia! Kuwi rak yo jenenge ora nasionalis[8]!”
Mahasiswa kita tersenyum. Warna kelabu masih saja tertebar asing dan mengendapi senja di kampung ini. Bagai menonton film tua. Suara azan tak terdengar dari kejauhan karena mikofon mati. Sebagai gantinya, tetangga yang duduk di amben nyeletuk, “mangkan yasinan ora, Son[9]?”
“Mbuh Pakdhe. Nek wis murup wae[10]!”
Mahasiswa kita menghela nafas, lalu bergumam. Menyenandungkan lagu yang tidak dikenal orang-orang kampungnya, lirih pelan.
“No end, no end to the journey
no end, no end never
how can the heart in love ever stop opening
if you love Me, you won’t just die once
in every moment you will die into Me
to be reborn into new love…[11]”
“Ide, nggak baik senja-senja seperti ini nyanyi lagu Inggris,” tegur ibu mahasiswa kita sambil memberikan handuk, “mandi dulu. Salat.”
Orang-orang kalah di sini, orang-orang kalah di sana,
berkumpul dan menyebar. Demikian adanya.
Akan tetapi, mahasiswa kita tersenyum. Selalu tersenyum.
—o0O0o—
1 Desember 2008
[1] Tidak tahu keadaan (bahasa Jawa).
[2]
Dalam kasus ini, panggilan terhadap orang yang dituakan meskipun makna
literalnya adalah panggilan kepada saudara tua perempuan dari ayah/Ibu
(bahasa Jawa).
[3] Istilah kernet untuk anak SMP dan SMA karena di saku dada seragam mereka ada logo OSIS.
[4]
Takjilan secara umum diartikan hampir sama dengan ngabuburit, menunggu
buka puasa. Lokasinya di masjid dan biasanya diadakan untuk anak-anak
oleh remaja masjid. Makanannya berasal dari takjil penduduk sekitar
masjid.
[5] Kata makian dalam bahasa Jawa.
[6]
Bagaimana sih maunya PLN? Pemadaman, tetapi tidak memberitahu lebih
dahulu. Lha, kalau begini, kan tidak bisa menyaksikan (pertandingan)
sepakbola? (bahasa Jawa).
[7] Siapa melawan siawa (bahasa Jawa). Arti literalnya, “Mana melawan mana”.
[8] Kalau (tindakannya) begini [memadamkan listrik] kan (PLN) tidak nasionalis. (bahasa Jawa).
[9] Berangkat yasinan tidak, Son? (bahasa Jawa).
[10] Tidak tahu, Pakdhe. Kalau listrik sudah menyala saja. (bahasa Jawa).
[11]
Salah satu sajak penyair Persia, Jalaludin Rumi, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul “No End to the Journey” dan digubah
menjadi lagu.
No comments:
Post a Comment