Saturday, July 12, 2014

Venus

“Sudah genap sembilan orang,” Pak Harpun membagikan buku surat Yasin kepada kami berdelapan yang duduk membentuk lingkaran. “Yang di luar tidak diajak sekalian, Pak?” Pak Mardi selaku tuan rumah mengingatkan. Beberapa pemuda seusiaku tampak berjaga-jaga. Pak Harpun menggeleng, “sembilan itu angka sempurna.”

Lampu neon ruang tamu menerangi dalam rumah berdinding bata ini. Saling melirik, detik berikutnya tiap-tiap kami larut dalam pikiran masing-masing, kecuali aku. Hari kedua dari tiga hari yang disyaratkan orang pintar dari makam Sunan Gunung Jati. Demi melihat sikapku yang sedikit angkuh, Pak Harpun yang bersila di sampingku berbisik nyaris tak terdengar, “Mas Mim, dalam perhitungan kalender Jawa, malam ini sederajat dengan 40 malam. Jika kita melakukan sesuatu, kemungkinan untuk dikabul-kan Tuhan pasti lebih besar.”
Aku mengangguk, entah hatiku.

“Saudara-saudara,” suara berat Pak Harpun memecah lamunan bapak-bapak di sini. Akulah yang termuda. “Mari kita mulai membaca surat Yasin sebanyak 7 kali secara tartil dengan harapan Mas Marno, yang sudah hilang lebih dari 40 hari, segera kembali.”
Hampir semua berbaju batik kecuali aku. Kukenakan pakaian serbahitam atas saran dari Ayu. Hitam berarti kebijaksanaan dalam terminologi sufi[1]. Hampir semua berpeci hitam yang telah termakan waktu, memudar coklat di tepiannya. Aku tidak, tidak berpenutup kepala.

Monggo dipunwaos sesarengan. Kulo dherekaken[2],” kata Pak Harpun.
Lalu, suara-suara tenang bergelayut meremang di ruang berukuran 3×4 meter itu. Suara jangkrik di luar sana sesaat terdiam. Jarum jam pendek di dinding hampir tepat di atasku, bergerak ke arah angka delapan.
“Yaasiiin, Walqur’anil hakim…”
Pikiranku terpecah-belah, melayang kepada Ayu yang duduk sendiri di rumah. Pada pesannya sebelum senja tadi….

”Berangkatlah,” dia tersenyum lapang, selalu demikian adanya. Senja terlalu merah untuk menampung degup jantungku. “Bukankah dia anak yatim juga, sepertimu?” Aku memandang gamang ke timur, ke arah cahaya putih cerah yang sebentar lagi ditemani taburan bintang. Venus. Kileken. “Bekerjalah tanpa pamrih, Mim. Seperti Kileken yang dikabarkan oleh suku Masai.”
—o0O00—

Alkisah, seorang kakek tua tinggal sendirian di sebuah gubuk. Ia jatuh cinta pada taburan bintang, sebagai pengobat sepinya. Bahkan, ia menganggap bahwa mereka yang berserak di langit hitam itu, yang cahayanya mesti menyeberang jutaan tahun sebelum terekam mata, sebagai anak-anaknya. Hingga suatu ketika, di sebuah malam cerah, sebuah bintang di sudut jauh sana, yang dikenalnya dengan baik, lenyap. Pada saat yang sama, seorang anak muncul di halaman rumahnya, menyapa lembut dan memperkenalkan diri sebagai Kileken, sang anak yatim yang mengembara.

Sejak saat itu, Kileken selalu mengerjakan tugas sehari-hari sang kakek, menggembalakan ternaknya setiap pagi dan senja. Hidup sang kakek berubah, dipenuhi keajaiban Kileken. Hanya satu pinta sang yatim: kakek tidak boleh melihatnya saat bekerja. Akan tetapi, rasa ingin tahulah yang menjadi sifat dasar manusia. Kakek melanggar janji. Ia mengintip! Kileken lenyap seketika, menjadi bintang pagi. Suku Masai menganggap bintang pagi dan senja adalah dua hal berbeda. Kilekenlah sang penjemput pagi. Leken, adalah sang penutup hari ketika senja bergelayut. Pengetahuan Barat yang mengklaim diri sebagai yang paling rasional itu menyebutnya Venus, dewi cinta. Bukan Kileken, anak yatim pengembara yang memberikan cinta cuma-cuma.
—o0O00—

Mas Marno berusia 42 tahun, tinggal menumpang di rumah kakaknya, Pak Mardi —tuan rumah yasinan ini, yang mengenakan baju batik biru bermotif gunungan—. Sejak kecil, Mas Marno sudah dilekatkan dengan hal-hal klenik. Bagiku yang dididik untuk memahami hal secara ilmiah, objektif, dan rasional, setiap cerita tentangnya sama sekali tak kupercaya. Hingga, Ayu datang dan membuat pikiran skeptisku berubah total.

Dikisahkan, ibu Mas Marno sebenarnya keguguran ketika janinnya berusia 4 bulan karena melanggar pantangan menebar benih padi di sawah. Berkat bantuan salah satu roh tertinggi di desa ini, kandungan itu kembali. Mas Marno lahir dengan kecerdasan yang agak tertinggal. Akan tetapi, jauh lebih dari itu, kebaikan hatinya di atas segalanya, dibanding kami yang menganggap diri moralis. Aku dan Ayu yang merantau saja diperlakukannya istimewa, melebihi siapapun di desa ini. Ia bekerja serabutan. Banyak yang membutuhkan tenaganya.

 Biasanya, ia diupah sebatang-dua batang rokok dengan merk tertentu dalam sehari, ditambah makan. Akan tetapi, kalau aku atau Ayu yang meminta, dia tidak pernah mau menerima imbalan. “Nanti Bapak marah,” alasannya yang ketika itu belum masuk otak skeptisku. Aku yang merasa janggal. Baik ayahnya maupun ayahku telah meninggal beberapa tahun sebelum kami bersua.

Banyak keajaiban yang terjadi dalam hidup Mas Marno, seperti Kileken. Ia pernah jatuh dari ketinggian 5 meter, dan selamat tanpa luka sedikitpun ketika diminta mengunduh kelapa di rumah Pak Slamet Mulyadi, salah satu pelopor ternak ikan lele di desa ini. Waktu ditanya oleh Pak Slamet —ia memakai batik kuning malam ini—, Mas Marno berkata, “tadi bapak pergi. Jadi, saya jatuh”. Ketika aku mengisahkannya ulang kepada Ayu dan bertanya untuk kesekian kalinya apa yang dimaksud Mas Marno sebagai ‘ayah’, istriku hanya berkata, “kamu belum mengenal dirimu sendiri, Mim”. Kileken, sang yatim pengembara.
—o0O00—

Belum juga satu putaran Yasin dibaca, kami semua dilanda kantuk berat. Aku yakin tiap-tiap kami telah hafal sehingga bacaan tidak rusak di tengah jalan. Pikiran skeptisku sempat beranggapan bahwa ini hanya efek kelelahanku. Seharian tadi aku sibuk mengedit buku —hari ini aku tidak berangkat ke kampus untuk mengajar— dan tak sempat tidur siang.

Pun aku sebenarnya menolak ritual yang cenderung syirik ini. Bid’ah yang membudaya, kata teman seprofesiku. Mungkin keduanya yang mengacau pikirku hingga kulihat huruf hijaiyah yang ada di buku dalam genggaman tanganku berubah menjadi sandi-sandi aneh berwarna kuning-kecoklatan. Mungkin saat ini telah tiba faseku bermimpi, tapi aku memaksa diri untuk sadar. Mungkin. Jika kami bersembilan, yang dianggap paling fasih membaca di kampung ini, mengalami hal sama, itu adalah kebetulan. Lalu kata-kata Ayu meruyak kembali….

“Venus adalah kembar bumi yang pelik, Mim,” Ayu membolak-balik halaman buku catatan hariannya. Belakangan, dia sangat suka mengisahkan Kileken dan sedikit berfilsafat. Planet yang dibicarakan, berada di timur sana. Mengintip kami.

“Hanya, ia mengalami efek rumah kaca yang terlalu cepat 4,5 milyar tahun lalu. Sekarang, ia berevolusi terlalu lambat. Bukan sebuah kebetulan jika ketika berserak, ia dekat dengan bumi. Setidaknya kamu bisa berkata, Tuhan ingin menunjukkan bagaimana neraka itu,” matanya nakal menusuk mataku. Aku setengah terpaksa tersenyum. Kalau benar ada evolusi, berarti kebetulan pula kita mempunyai akal. Seharusnya, Tuhan menitipkan akal itu kepada burung yang bisa terbang kemana saja dan menaruh jiwa ke dalam ikan paus yang menelan Yunus, agar menenggelam ke dalam samudera.

Dia lalu menambahkan, “kita berkata dia dewi cinta. Cahaya yang dipantulkannya memukau. Di sana, ada lapisan-lapisan awal yang amat tebal, yang menyelimuti planet tersebut. Akan tetapi, di balik kecemerlangan putihnya, ia adalah tempat yang gersang, berbatu. Contoh tepat untuk melihat efek sesungguhnya global warming.”
Kembar yang pelik. Ayu sedang memperbincangkan Venus sekaligus hal lain.

“Dan ruh, Mim… kamu tahu bahwa sains saat ini tidak mau mengenalnya. Ruh dan jiwa adalah dua hal berbeda yang sekaligus sama. Mirip benar,” Ayu bertopang dagu memandang sang bintang senja. Aku terpancing untuk mendekat. Dia berpaling ke kiri, “oh ya~ suku Masai adalah salah satu percontohan untuk mengatasi global warming yang kamu takutkan itu. Mereka telah terbiasa untuk bertani di padang pasir dan semak belukar sejak lama.”

Ayuku. Dia meletakkan bukunya di sebelahku ketika berdiri. “Aku masak dulu. Hari ini sudah bukan mie instan lagi,” candanya garing. Dia tahu aku akan membuka benda itu setelah dia sibuk di dapur. Aku tertawa pelan.
“Kileken, kamu, dan Mas Marno,” tutupnya. “kalian mirip, bukan?”
—o0O00—

Akulah Ruh, kembarmu yang pelik.
Akulah yang menjebakmu dalam waktu dan peristiwa.

Saat kau kuciptakan, kau adalah bentuk yang belum dapat diungkapkan. Terselubungi kabut, seperti halnya citraanku yang kautangkap di kemudian hari. Kelak, ketika kau telah tinggal dalam rahim ibu, informasi-informasiku masih berlanjut, tak pernah berhenti. Akan tetapi, sejak saat itu kau akan menempuhi jalan dan beranggapan bahwa aku tak dikenali. Maka, kugunakan malaikat, salah satu bagian terjauh perkembangan jiwamu. Ia mengirimkan makanan kepadamu setiap hari. Ia menunjukkan pula hidupmu di dunia, waktu ajalmu, dan segala macam pencarianmu[3]. Pencarianmu akan hakikat keberadaanmu yang tak pernah rampung. Kelak, ketika kau mengenal warna langit yang berbeda, yang menipu mata dengan birunya, kadang pesan-pesan tadi terbias seperti cahaya yang masuk ke dalam air. Kau tengah mengulang peristiwa tanpa kausadari kaupernah melihatnya. Kausebut hal itu déjà vu.

Ketika kau mulai bernafas mengambil udara dunia, lima puluh bahasa meniada. Kau seperti tak mengenal dirimu sendiri. Kita berpisah. Kau rindu, apalagi aku. Perulangan-perulangan semakin sering terjadi. Jika kaumampu menarik garis darinya, kau akan mengerti bahwa aku tak memintamu untuk takut kepadaku, tetapi memintamu mencintaiku. Jangan kausebut aku ayah meski aku menciptakanmu. Aku adalah cinta, tujuanmu. Kau sendiri. Pahamilah malam. Bagaimana ia kauanggap sebagai wajah alam semesta sesungguhnya. Sepasang demi sepasang makhluk beristirahat, mencipta lingkaran hampir nol. Inginku kau bercengkerama denganku. Ciptakanlah alif untuk berdirimu. Kha’ untuk rukukmu. Mim untuk sujudmu. Dan dal, untuk dudukmu. Lihatlah tubuhmu itu, bagaimana air, udara, cahaya, dan tanah berbaur. Kau adalah langit, kau adalah bumi. Dan lihatlah kau, sang pengendara tubuh, yang hidup abadi tanpa perlu memakan buah khuldi.

Carilah aku. Kau akan mengetahui dirimu sendiri.
Aku ingin diketahui dan ditemukan!
—o0O0o—

“Silakan Mas Mim,” Pak Said menawarkan suguhan di depan kami dengan ramah. Demikianlah adat di sini, mendahulukan yang berada di sebelahnya. “monggo, Pak.”
Ketika kuteguk teh hangat, Pak Mardi membuka suara. “Malam ini berat sekali kita mengangkat Marno. Tidak seperti malam kemarin! Mungkin roh yang membawa-nya, menahannya erat-erat hingga ia tidak bisa pulang.”

“Betul, Mas Mardi,” keluh Pak Matang, salah satu tetua kami, “tadi, saat saya memejamkan mata, saya melihat Mas Marno ngawe-awe[4] kita semua dari pintu depan”. Keruan saja kami bersembilan, dan pemuda di luar melihat pintu yang bisu itu. Bulu kudukku meremang asing. “Dia sebenarnya sudah dekat”.

“Mungkin ada ritual yang kurang?” tambah Pak Harpun sambil melahap kue lapis, “masih kurang satu malam. Harapan kita, dengan selesainya yasinan besok, segala urusan dimudahkan. Kita sudah membersihkan rumah ini, sudah mencoba berkeliling desa, sudah minta bantuan polsek, tapi belum berhasil juga.”

“Begini, bapak-bapak,” Pak Mardi menengahi, “mungkin kita perlu membersihkan sungai yang sering dipakai Marno mandi. Banyak sampah di sana, dan telah menyumbat aliran air. Siapa tahu yang membawa Marno marah karena kita berbuat tidak sopan”.

“Sampah itu kan berasal dari desa Sindudadi, yang ada pabrik susunya itu! Kita sudah menisahkan sampah organik dan non-organik? Yang organik ditanam di tanah, yang bukan, diangkut ke TPA. Kenapa kita yang dimarahi?” Pak Slamet Mulyadi terpancing. Aku memandang berkeliling, ingin mendengar pendapat lain.

“Jangan keras-keras Pak, siapa tahu pembawa Mas Marno ada di sini mengintip kita,” kata Pak Harpun pelan. Yang lain mengangguk setuju.

Salah seorang putra Pak Mardi, Salim, datang dan berbisik kepada ayahnya. Dari ruang tengah, beberapa berkat dikeluarkan. Gula pasir, teh, nasi gurih, telur ayam, kolak, dan beberapa hal lain. Yang unik, kulihat ada mie instan di sana. Setelah diputar dan semua mendapatkannya, Pak Mardi matur, “monggo Bapak-bapak. Ini ada berkat ala kadarnya, sebagai ungkapan terima kasih kami atas bantuan Bapak sekalian.”
“Nggih, dari kami, matur nuwun juga Pak Mardi. Semoga, Mas Marno enggal dipunwangsulaken[5] kepada kita semua. Amiin,” sambut Pak Harpun.

Lalu, dengan wajah yang terlalu lelah, satu demi satu yang membacakan surat ke-36 itu surut, berjalan lenyap di kegelapan malam, kembali ke rumah masing-masing.
—o0O0o—

“Kileken, Mim…” Ayu yang menungguku pulang, berbicara lembut. Wajah yang kusut-masai hilang seketika. “Juga dikenal sebagai penanda. Jika ia telah tampak di langit pagi dan ada seorang Masai yang belum pulang dari perburuan, para wanitanya akan berdoa demi keselamatannya. Ya, jika ada yang hilang.”

Mas Marno memiliki penjaga, ‘Sang Ayah’, yang membantu kelahirannya di muka bumi. Belakangan, menurut Ayu, terjadi pelanggaran ketika keluarganya memaki Mas Marno berlebihan. Hal itu sering terjadi, dan akhirnya tiba di puncak. Lebih dari 40 hari lalu setelah ia jagong[6] dalam mantenan Mas Rahmat, dalam keadaan lelah, ia dimaki lagi. Mas Marno tentu bukan orang pendendam. Akan tetapi, yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat. Para penjaganya, ‘Sang ayah’ dan beberapa roh lain, marah dan menariknya keluar, tak terlihat di sini meski ia ada.

“Kamu percaya bahwa setiap dari kita memiliki penjaga?” kataku mulai skeptis lagi. “Tentu. Mereka adalah kamu sendiri sekaligus bukan kamu. Kamu pernah merasa aneh dengan para skeptis yang tidak percaya Tuhan, tapi tidak mempermasalahkan keberadaan ide? Dari mana kamu menganggap ide itu nyata, Mim? Ia abstrak, tapi kalian para penggila sains melakukan diskriminasi hanya karena ia berada di dalam diri kalian,” dan Ayu mulai berfilsafat lagi. “Bukan masalah percaya atau tidaknya, Mim. Ada dan tidak ada itu subjektif, keduanya membutuhkan satu sama lain. Dan, meng-anggap tidak ada sebagai tidak ada itu seperti lawakan.”

Aku tak mau mendebatnya. Venus yang kini kukenal juga sebagai Kileken. Venus yang indah sekaligus berpermukaan hancur. Neraka yang dibayangkan dan gambaran neraka yang ditampakkan. Sungai yang hancur di sini dan air Venus yang telah menguap lenyap. “Dualitas, Mim. Cobalah terangkan dengan sains. Kalian selalu berteori dulu baru mencocok-cocokkannya dengan eksperimen. Hasil eksperimen itu mau tidak mau, harus mirip dengan teori. Beruntunglah kamu yang kehilangan ayah di usia 21 tahun. Ketika tidak ada adalah ada dan sebaliknya”, Ayu beringsut untuk merebahkan diri ke pangkuanku. Lampu kami masih terlalu terang. Taburan langit nun jauh di atas sana terbidik dari salah satu genteng kaca.

“Mengapa tidak ada cerita dari suku-suku kita yang kamu kisahkan?” kubelai lembut rambutnya. Ayu tertawa pelan, “bukankah lebih indah melihat yang jauh-jauh daripada yang dekat-dekat? Kamu belum mengenal dirimu, karena itu Tuhan memper-lihatkan alam semesta. Maka, betapa jahatnya mereka yang menyakiti alam? Jahat pada diri sendiri karena membuat mereka makin asing, makin tidak mengetahui?”

“Kamu tidak ikut memikirkan Mas Marno?” tanyaku. Tidak pula kamu menentang syirik, Ayu. Tidak pula kamu menghimbau ibu-ibu PKK untuk mengingatkan sang suami. Ketika menjadi mahasiswa dulu, tidak pula kamu berdiri menjadi demonstran menentang pembalakan liar. Kamu hanya bercerita bahwa suatu saat bumi kita akan menjadi Venus kedua jika kita gagap.
“Untuk apa? Dia akan pulang minggu depan. Tanpa ritual yang kauanggap syirik. Tanpa perlu takut pada ‘Sang Ayah’ yang misterius yang kauanggap tidak ada”.
Kamu membingungkanku… selalu demikian.

“Ruh itu satu, Mim. Memanggil semua jiwa yang diperintahnya. Akan tetapi, mereka yang tergila-gila pada sains tidak pernah bisa mengetahui panggilanNya.”
Aku tidak tahu lagi. Mas Marno dan aku, aku dan Kileken. Yatim pengembara.
Kembar yang pelik.
—o0O00—




31 Mei 2009



[1] Shah, Idries. 2000. Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi (Terj. M. Hidayatullah dan Roudlon). Surabaya: Risalah Gusti. Hlm. 12
[2] Mari dibaca bersama-sama. Akan saya pimpin (Bhs. Jawa)
[3] Bowering, Gerhard. 2003. Gagasan tentang Waktu dalam Sufisme Persia (terj. Gafna Raizha Wahyudi). Yogyakarta: Pustaka Sufi. Hlm. 15.
[4] Melambaikan tangan (bahasa Jawa)
[5] Segera dikembalikan (bahasa Jawa)
[6] Duduk mengobrol sepanjang malam (bahasa Jawa).

No comments:

Post a Comment