For millions of years man has been speaking about peace,
but he has not come forward to first find peace within himself.
(Muhammad Rahim Bawa M., “Islam and World Peace”)
Kukelilingi jelajah stasiun dalam pandangan mata. Mayu masih duduk di sampingku, seperti yang dilakukannya dalam tiga hari di tanah Ibukota ini. Berdua, hanya berdua. Berdua, di antara ribuan orang yang datang dan pergi menuju dan menjauh dari tempat ini. Yang kutahu, inilah Ibukota. Kota impian dan kota kekalahan. Menyulap pemimpi setinggi gedung yang pernah dilempari batu kerikil, sekaligus menenggelamkan sang pengkhayal tadi sebagai pecundang di sungai-sungainya yang dilalui dengan menutup hidung.
Pulang. Ya, pulang. Kami akan kembali ke Kota Kecil, tempat kami kuliah. Kembali dengan menggenggam gumpalan kekalahan…
“Apakah perjalanan ini sia-sia, Ide?” tanya Mayu gamang, memandang sekumpulan orang di bawah salah satu tiang stasiun berkarat. Beberapa anak ber-seragam SMP bertukar majalah dewasa dengan senyum mesum. Ibu-ibu berdaster merah muda yang duduk di sebelah mereka, menghembus nafas kelabu, bekas hirupan rokok di jepitan kedua jari.
“Mungkin sia-sia, tapi bukankah ini berani?” kataku menghiburnya. “Aku yang membawamu. Aku bertanggungjawab atas semua ini.”
Dia mendesah. Memalingkan muka. Membiarkanku melihat leher dan krag baju bergaris merah-putihnya. Kami datang bukan tanpa tujuan. Mengunjungi salah satu teman, Bumi. Dia penggerak buletin gratis Blame!, salah satu afiliasi kami. Sayang, tidak bertemu. Barangkali dia telah berubah.
“Apakah kita sedang melarikan diri?” Mayu bergumam. Kali ini melihat seorang anak yang mengenakan kaus bergambar wajah seorang artis cilik paling ngetop tahun ini —model rambutnya juga dibuat sama persis sang idola—. Ayahnya, berkupluk, menghisap rokok, bersepatu pantovel, membukakan susu stroberi.
“Aku tidak mau berdalih. Ya, kita melarikan diri, mencari orang-orang yang sepaham, Mayu”. Ayahnya menolak Mayu bergabung denganku dalam kumpulan kecil kami —yang menolak selimut yang menyelubungi masyarakat dan umat ber-agama—. Salah satu dari sekian orang yang mengklaim kami tidak bertuhan. Meminta Mayu meninggalkanku dan menghentikan aksi. Dia telah mendengar adanya “Muslim Anarchist Charter[1]”.
“Apakah kamu mau datang lagi ke sini suatu saat nanti?” kataku lemah. Dia melipat tangan. Sekali lagi kubenturkan kenangan-kenangan kemarin di ubin stasiun yang putih, menjebak bayangan ratusan orang melintas di atasnya…
—o0O0o—
Kami tiba di Ibukota, kemarin, Jumat pagi. Terlalu pagi malah. Begitu turun, kami langsung berjalan kaki di bawah langit yang gelapnya belum terlalu pudar. Merah belum merobeknya. Kontrakan Bumi, teman kami itu, lebih dari lima kilometer dari sana. Di perempatan raksasa yang mulai padat jam-jam itu, realitas pertama Ibukota kujumpai dari seorang lelaki yang berjalan tergesa ke arah kami.
“Mas, punya uang lima ribuan, nggak?” Dia bertubuh tegap, seperti tentara. Lebih pendek dariku. “Saya cuma punya dua ribu nih. Nggak cukup buat ongkos pulang. Kita tukar saja. Dua ribu saya buat lima ribu Mas”. Belum juga kujawab, dia sudah melakukan dan menetapkan transaksi, dalam satu kalimat!
“Maaf Mas, saya nggak punya,” kataku menggeleng, “cuma ada dua ribu.”
“Ya, dua ribu saja,” dia setengah menekan. Tak mau lama, kuberikan saja kepadanya yang langsung mengambil, tidak mengucap terima kasih, dan berjalan menjauh. Kusadari, tidak lebih dari penipu.
Di depan kami, belakang lampu merah, sebuah truk tangki Pertamina diam. Lampu sign-nya menyala berkedipan. Tidak ada seorangpun di kursi sopir. Mobil mewah yang tidak tahu hal itu, antre saja di belakang truk. Begitu lampu hijau menyala dan truk masih bisu, mobil membunyikan klakson berulang kali. Lama, baru sang sopir mobil mewah menyalip truk bisu itu. Menoleh hendak memaki, tetapi tidak jadi.
Tujuan kami berikutnya: belakang rumah Lurah Cikiri.
—o0O0o—
Kosong.
Bumi tidak tinggal di sana lagi. Penghuni baru kontrakan itu, perempuan berkaus tanpa lengan yang sepertinya baru bangun setelah kami beberapa kali mengetuk pintu, mengaku sudah tinggal beberapa bulan, tidak tahu-menahu dengannya. Demikian pula tiga teman kami yang lain. Husein si perokok kereta api, Qom yang ahli desain grafis sekaligus layouter Blame!, dan Anatolia, kawan perempuan terdekat Bumi —mereka berbeda pandangan dengan kami tentang seks—. Semua menghilang, tanpa jejak sama sekali. Sebenarnya akupun cukup bodoh karena tidak mengontak mereka. Nomor Anatolia sudah tidak aktif, sedang para laki-laki itu menolak fasilitas itu. Kapitalis sekali, klaim mereka.
Aku dan Mayu beranjak pergi. Ngenet sejenak, mengunjungi blog mereka —alamat mail mereka, sering berganti, seperti kami, mengingat adanya ancaman dari beberapa pihak yang mengangkat bendera perang kepada kami—. Kutemui alamatnya, di sekitaran salah satu Masjid Raya. Tak terlalu jauh, sekalian saja kulakukan nanti setelah salat Jumat. Berjalan kaki. Ya, kami berjalan kaki. Mayu dan aku cukup sering melakukannya, di manapun. Sambil menelusuri terik matahari yang tak terlalu terik, kami seberangi jalan demi jalan.
Bumi dan kawan-kawan adalah kawan SMA kami. Tahun pertama kuliah, Bumi masih bersamaku di universitas Elang sebelum hijrah ke Ibukota demi mengaitkan diri dengan Anatolia, yang berafiliasi dengan Afuniks, salah satu grup independen yang bertanggungjawab atas aksi-aksi petani di daerah —terutama Jawa— menentang pembangunan pabrik yang tidak pro lingkungan.
Kami —aku dan Mayu— memilih jalan yang berbeda dengannya. Kami membentuk pasukan sajak Lavratislava —kumpulan, bukan organisasi. Mayu lebih suka menyebut sebagai “keluarga”—. Ada kalanya, kami memanfaatkan blog untuk menyebarkan ide. Ada saatnya pula, menempel selebaran, membuat buletin seadanya untuk menunjukkan kepada orang-orang di sekitar kami tawaran lain dari hal yang dipertentangkan di dunia.
Bagi kami, logika tidak lebih dari generalisasi umum yang dibatasi akal. Jika Anda masih suka membaca buku 10 Kiat Sukses atau 10 Orang yang Masuk Surga, Anda mungkin perlu membaca statemen kami. Entah siapapun Anda: umat beragama, rasionalis, modernis, atau postmodernis. Kami hidup dari pengalaman pribadi. Jika Anda geli dengan kami, Anda sedang menertawai diri sendiri:
HUKUM CINTA LAVRATISLAVA
IV
Belajarlah untuk mengucapkan terima kasih,
Belajarlah untuk meminta maaf,
Belajarlah untuk tersenyum.
Semua hal dimulai dari cinta.
Jika ketiga hal itu masih mahal,
kamu belum bisa dikatakan pernah jatuh cinta.
VII
Mereka yang masih bisa jatuh cinta
sama sekali bukan orang-orang yang tertindas atau kalah
—o0O0o—
“Kamu tidak suka?” kataku kepada Mayu yang bergantian memandangku dan bakso di mangkuknya. “Aku tidak habis, Ide. Sungguh,” katanya menyeka wajah dekat bibir dengan punggung tangannya. Setelah sekian jam bergulat dengan roti basah dan kering, perut ini perlu diisi yang lebih mengenyangkan.
“Baiklah,” kuambil bakso dari mangkuk Mayu. Dia meneguk air mineral yang kami bawa. Penjual mie ayam yang masih melayani pembeli, tersenyum melihat kami. Apakah kami terlalu hangat? Ternyata tidak hanya itu. Waktu kubayar, kuketahui makna lain senyum itu.
“Berapa Pak?”
“Sama bakso, Rp 16.000,00 Mas.”
Meski tadi kubilang hanya pesan mie ayam, dia sendiri yang berinisiatif menambah bakso. Kukira itu hal lain. Sedikit menipu, dan aku terlalu polos. Ah, mungkin ini hanya strategi bisnis.
“Dia menjebak kita. Kamu membawa sarung, kan?” kata Mayu saat kuhampiri duduknya di sudut. Aku mengangguk.
—o0O0o—
Khutbah Jumat mengupas ilmu dunia dan akhirat. Ditekankan khotib bahwa dunia hanya semu. Sesekali ia terbatuk sebelum menyeruput air putih dari gelas yang disodorkan salah satu pengurus masjid. Aku tidak tenang, sesekali menoleh keluar seolah Mayu akan hilang. Jamaah menyemut. Yang ada di halaman luar, bisa dua kali lipat yang ada di dalam. Mayu masih duduk di sana, di tempat pedagang mie ayam tadi. Tida berbicara dengan pelanggan lain yang kebetulan perempuan juga atau menolehku. Bertopang dagu.
Khutbah pendek disertai salat dengan bacaan surat yang panjang itu berakhir cukup cepat. Di saat salah satu tamir menginformasikan sesuatu, jamaah di luar sudah berhamburan. Belum juga zikir memasuki tasbih, pedagang dadakan sudah menggelar barang-barang mereka, bersahut-sahutan.
“Pulsa, pulsa!”
“Obral majalah! Obral majalah! 5000 dua!”
“Bapak-bapak, ini adalah obat penumbuh janggut. Dijamin mujarab!”
Yang terakhir malah memakai megaphone, terdengar lantang. Seorang eksekutif muda, berdasi mewah, berbaju putih, tiduran di sebelahku begitu saja. Tak lama kemudian, mendengkur…
—o0O0o—
Tiba di alamat tujuan, kami bertemu dengan Anatolia. Kontrakannya penuh, lebih dari 15 orang tinggal di sini. Yang sekadar datang dan pergi, jauh lebih banyak. Mereka membuka kelas-kelas filsafat —seperti kelas Marxis— dan berdiskusi, kadang mengundang kenalan luar ikut, atau berinvestasi tanpa imbalan. Dosen-dosen muda idealis, kerap datang, kisah Anatolia.
“Aku nggak tahu di mana Bumi dan Qom sekarang. Mereka tidak sejalan lagi dengan kami dan berpisah. Seperti kamu dan dia dulu. Kalau Husein, dia ada di kontrakan Afuniks yang utama,” kata Anatolia selanjutnya sambil duduk bersila. Temannya yang hendak merokok di sebelah kami, diliriknya tajam. Mengangguk, tidak jadi.
“Akan tetapi, Blame! menjadi lebih luas jangkauannya,” kataku sambil membuka beberapa buletin yang disodorkannya. Sudah mencapai nomor 37. Prestasi yang bisa dibanggakan karena biasanya satu-dua tahun, majalah sudah berganti nama walaupun kumpulannya masih sama.
Kami menumpang mandi di sini. Anatolia dengan bangga memperkenalkan teman akrab barunya, Levy. Ada kalanya orang-orang seperti mereka bergabung dalam komunitas besar seperti yang dilakukan Anatolia sekarang, tapi lebih sering dalam lingkup kecil yang terdiri dari 5—6 orang, seperti saat dia bergabung dengan Bumi dulu. Dalam grup kecil tersebut, jika ada yang bertindak di luar peraturan grup, boleh keluar atau dikeluarkan. Berbeda dengan kami: landasan keluarga —lingkup terkecil dalam masyarakat— adalah cinta. Jika Anda tertawa geli, mungkin keluarga Anda —suami, istri, atau anak Anda— tidak punya hal ini di rumah. Hangatnya berbeda dengan hangat kami.
“Kalian masih menulis sajak?” tanya Anatolia saat kunanti Mayu menalikan sepatu kets putihnya. “Ya, masih, dan akan terus begitu,” jawabku.
“Tidak ada yang akan sepakat denganmu, Ide. Kalaupun hukum bisa diganti, dia harus melewati kekerasan, dan bukan cinta. Itu bodoh.”
Kami tidak berdebat dengannya tentang hal ini. Beda pandangan. Mereka menolak negara. Negara adalah pengakuan bahwa masyarakat telah terpecah menjadi kubu-kubu berlawanan yang tidak terselesaikan. Masyarakat dalam negara, tidak berdaya melepaskan diri dari hal tersebut[2]. Mereka menolak pemilu pula. Jika pemungutan suara bisa mengubah segalanya, itu pasti ilegal[3]. Kami bertukar nomor handphone. Punyanya baru.
—o0O0o—
Senja hari, setelah maghrib, di bawah langit merah-ungu, kami beristirahat lagi. Mayu terima-terima saja waktu kukatakan cuma bisa menemaninya makan dua kali sehari dalam perjalanan ini. Setelah berputar-putar di sekitaran stasiun kereta listrik cukup lama, kami terhenti di warung mie ayam yang bersebelahan dengan warung soto. Mayu tertawa, bercanda, “Ide, soto itu cuma kuahnya yang banyak. Kamu mau minum air dua gelas?”
Kami duduk, menyantap mie ayam kedua hari itu. Tanpa bakso, kali ini.
Akan tetapi, ketika tahu pedagang mie tidak menyediakan air minum, pada akhirnya aku beralih ke pedagang soto di sebelah. Menanyakan dua gelas air jeruk.
“Wah, sudah habis, Om. Adanya cuma air putih.”
“Oh~” aku surut.
“Ambil saja, Om. Gratis,” entah mengapa ibu-ibu tua penjualnya, menuang air ke dalam dua gelas dan menyodorkannya kepadaku. Heran, aku dan Mayu bertukar pandang.
“Terima kasih, Bu.”
Mayu menerima gelas tadi, “Masih berkutat di situ ya, ternyata?” memperolok diri sendiri. Aku tersenyum. Dikuncirnya rambut panjangnya, satu di belakang. Ya Mayu, kita terjebak. Sejak awal dalam keramaian yang menumpuk. Bersua dengan sekian yang bermuka dua, tiba-tiba bertemu yang jujur sekalipun, Anda akan terperangkap jaring laba-laba yang terlanjur Anda bangun sendiri: itulah logika, kumpulan peraturan dan generalisasi: hal-hal yang disusun dari pertentangan. Jika A tidak ada, B tak mungkin muncul. Akan tetapi, apakah Anda dapat menerapkan peraturan dalam cinta? Cinta melampaui segalanya. Anda pasti geli kalau saya mengutip ayat ini: “…Cahaya di atas cahaya…”[4]
—o0O0o—
Kami hendak menginap. Akan tetapi, di manakah yang aman di belantara kota yang asing ini? Kontrakan Afuniks-nya Anatolia yang membebaskan segala-nya, membatasi gerakan kami. Masjid Raya Pertama, tak mampu membuat kami aman. Niat mencari Bumi —harapan adanya pengertian dari satu saja orang di dunia— mungkin sudah pupus. Kami seperti bola yang ditendang kian-kemari.
Malam itu juga kami berangkat ke Masjid Raya Paling Raya yang konon menjadi masjid termegah kedua se-Asia Tenggara —dipecahkan rekornya oleh masjid di wilayah yang sama— berlomba-lombalah kami, seperti orang tua yang cemberut setengah masam ketika ada anak muda yang zikir setelah salatnya lebih lama daripada dia: “Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka…”[5] Gelikah Anda?
Tibalah kami. Tibalah.
Kami bergantian membersihkan diri di kamar mandi yang luar biasa bersih —berbanding terbalik dengan masjid di kota kami— saling menunggui. Saat itulah kulihat hal lain. Kotak amal jariyah, ditunggu dengan baik oleh petugas. Setiap kali pengunjung selesai bersuci dan hendak memasukkan uang, tangan petugas mengambil alih. Menumpuknya dalam tangkupan tangan. Ketika orang-orang pergi, barulah uang itu dimasukkan ke dalam saku. Aku memandangnya iba. Sungguh.
Kami berangkat ke lantai satu, salat isya berjamaah. Selesai itu, kami berpisah. Mayu ada di saf wanita, sebelah kiri. Aku di kanan. Kusandarkan diri di tiang besar. Mata ini benar-benar kelelahan. Bukan, bukan tentang perjalanan yang seperti sia-sia ini. Bukan pula tentang masyarakat luas, inti pemikiran para filsuf bijak. Tentang yang berhubungan dengan kami. Terlalu banyak penghakim-an. Mayupun, tak setegar dahulu. Aku entah. Dihancurkan dari kiri dan kanan. Jamaah keluarga muslim kampus menuduh kami sesat. Organisasi terselubung yang bukan organisasi primer fakultas —karena yang utama lebih sibuk dengan aktivitas— pernah menculik salah satu kawanku setengah hari, menginterogasinya: seolah kami ini akan meledakkan Monas atau Patung Liberty. Entah mengapa bukan aku, padahal aku selalu ada di depan mereka.
Lalu hubungan cinta. Aku dan Mayu terjebak. Mantan pacar Mayu yang bersekongkol dengan ayahnya, seolah gagap melihat Mayu yang sekarang, menekanku, menuduhku macam-macam. Apakah Mayu tidak mengalami hal sama? Bahkan mungkin lebih kejam. Perempuan lebih berbahaya daripada laki-laki kalau jatuh cinta. Bahkan meski cinta mereka cuma bertepuk sebelah tangan: harus dapat! Kalau gagal, musnahkan yang mendapatkan.
“Kalian terlalu menghormati orang lain seperti tamu. Pun menganggap diri sebagai tamu pula. Padahal, mereka terbiasa mengaku tuan rumah, dan orang lain bagi mereka tidak lebih adalah maling penjarah harta,” kata salah satu teman.
Aku lelah. Sungguh, lelah.
SMS Anatolia masuk. HP-ku kukeluarkan. Dua orang pemuda sedang membaca Al Quran. Di atasku, tepat bagian dalam kubah, bertulisan ayat kursi. Melingkari seperti menjaga. Kantukku menjadi…
—o0O0o—
“Mas, bangun Mas” uh, bahuku…
Kesadaran meningkat. Seorang satpam berjanggut putih menyapaku ramah, “akan diadakan salat malam. Mas boleh ikut atau mundur ke saf paling belakang.” Tanganku hendak menggenggam handphone. Hilang! Ketika kulihat ke samping, Al Quran yang sama dengan yang dibaca dua remaja tadi, ada di sana. Kutelan ludah, terdiam lama…
Salahku, salahku.
Dalam hati yang serbacampur-aduk, kudekatkan diri ke saf Mayu. Dia memandang tak percaya sejenak, lalu mengangguk. Sungguh, aku benar-benar terbuang! Terbanting, dan terbanting lagi. Jauh, jauh tak berharga. Aku lelah, Tuhan. Di rumah ini sekalipun, sudah bukan tempat yang aman lagi …
—o0O0o—
Jam besar di sebelah sana bergerak lambat, seperti hendak menunda kami. Angin yang terlalu siang menghantam punggungku sejuk meski hati ini masih agak sedikit sesak. Mayu memandangku ragu, lalu berpaling. Larut dalam pikiran masing-masing. Ibukota. Tempat segalanya bergantung. Bumi tertelan bumi, entah di mana. Cinta kami hilang di antara barang-barang bawaan penumpang kereta. Sebagai oleh-oleh ke kampung halaman di kardus bekas.
Kami pulang.
Ya, kami pulang. Tanpa membawa apa-apa. Ayahnya pasti telah khawatir. Mungkin menelepon yang berwajib. Teman-teman kami pun demikian. Pun kalau kumpulan kami benar-benar akan dilaporkan ke pihak yang berwenang, bukankah lebih baik menghadapinya, Ide? Di sana, maupun di sini sama saja: kalaupun mati, aku mati dalam serangan yang keduajuta, bukan pertama. Kugenggam erat udara di tangan ini.
Sejak beberapa saat lalu, dua anak berlarian di sekitar kami. Seperti adegan balap motor, dan mereka benar-benar menderumkan mulut mereka, menirukannya. Satu laki-laki, satu perempuan. Yang laki-laki memanfaatkan botol air mineral yang telah kosong sebagai gagang kemudi. Mengebut dengan kecepatan tinggi ke arah dinding pembatas stasiun. Saat benar-benar dekat, ia pura-pura mengalami disorientasi, lalu menghantamkan diri dengan lembut. Yang perempuan, mendekat dan tertawa-tawa. Mereka berlari kembali ke arah kami dan melakukan hal yang sama. Terjadi tiga kali, hingga kupu-kupu bersayap kuning bertitik-titik hitam mendarat di tangan Mayu. Anak perempuan itu melihat Mayu, menimang-nimang ragu.
“Mau?” kata Mayu tersenyum. Anak itu tertawa riang. Mayu memberikan sang kupu. Diterima dengan tangan tertangkup, dan kali ini anak berbaju stroberi itu berlari ke arah dekat rel. Sampai di sana, dibukanya tangkupan itu, membiar-kan kupu-kupu tadi terbang kian kemari di sekitarnya.
“Horeeee…”
Kuhela nafas lega. Biarlah, perjalanan ini mau bagaimana nantinya, tidak kupedulikan lagi. Kami masih ada, dan selamanya makan ada.
“Tamu harus bersabar hingga tuan rumah membukakan pintu, Ide…”
“Terima kasih, Mayu…”
Dan di sana, kereta yang membawa kami pulang telah tiba, membawa jutaan cinta sepanjang perjalanannya nanti.
—o0O0o—
17 Desember 2008
*Cerpen ini termuat dalam antologi Cerpen Rendezvous di Tepi Serayu terbitan Stain Press (2009). Masuk sebagai nominator ketujuh dalam Lomba Cerpen Religiositas Cinta oleh STAIN Purwokerto.
[1] Pada 20 Juni 2005, Yakoub Islam, Muslim dari Inggris, mengaktifkan portal online-nya: “Muslim Anarchist Charter” yang berisi: (1) Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya; (2)
Tujuan hidup adalah untuk membangun hubungan cinta dengan Tuhan yang
MahaEsa untuk bertindak sesuai ajaran, wahyu, dan tanda-tandanya di
dalam penciptaan-Nya (makrokosmos) dan hati manusia (mikrokosmos); (3) Demi tujuan tersebut, anarkis muslim wajib belajar dengan kehendak bebas dan secara sadar untuk menolak kompromi dengan institusi kekuasaan dalam bentuk apapun (budaya, hukum, agama, sosial, atau politik; (4)
Demi tujuan tersebut, Anarkis muslim harus aktif dalam realisasi
keadilan demi komunitas yang jiwa spiritualnya tidak terbatasi lagi oleh
kemiskinan, tirani, dan ketidakpedulian; (5) Demi
tujuan tersebut, Anarkis muslim mengaitkan diri secara terbatas kepada
masyarakat Yahudi-Kristen-Islam dengan memahami perbedaan masing-masing.
Melalui kelima poin tersebut, Anarkis Muslim menolak (1) fasisme yang bertujuan untuk memapankan kebenaran tunggal yang absolut, termasuk patriarki, monarki, dan kapitalisme, dan (2) segala bentuk kekerasaan dan pemaksaan politik, rasisme, prasangka (stereotip-orientalis), termasuk (salah satunya) islamophobia.
Melalui kelima poin tersebut, Anarkis Muslim menolak (1) fasisme yang bertujuan untuk memapankan kebenaran tunggal yang absolut, termasuk patriarki, monarki, dan kapitalisme, dan (2) segala bentuk kekerasaan dan pemaksaan politik, rasisme, prasangka (stereotip-orientalis), termasuk (salah satunya) islamophobia.
[2] Engels, dalam Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara. Terdapat pula dalam Negara dan Revolusi karya V.I. Lenin (Bab I, Masyarakat Berkelas dan Negara).
[3] Ray Cunningham.
[4]
An-Nur: 35. “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca
itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
[5]
At-Taubah:110. “Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa
menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu
telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
No comments:
Post a Comment