Berikut ini semua sajak yang ada
dalam kumpulan “Kamar Penengadah”. Menurut saya sih, ini pencapaian yang cukup
bersejarah dalam kehidupan sajak-sajak saya. Selamat menikmati!
01. Mengunjungi Cinta
02. Hantu
03. Penciptaan Nihil
04. Para
Pengembara
05. Murmuring Universe
06. Surga Batu
07. Silang Sengketa
08. Duduk
09. Hakim Agung
10. Naskah Hilang
11. Buah Dadu dan Papan Catur
12. Pemanjat Matahari
13. Matahari di dalam Matahari
14. Bermustahilan Mati
15. Perjamuan Timur dan Barat
MENGUNJUNGI CINTA
Kuterjaga sedang engkau masih lelap
Bagaimana mungkin malam masihlah
terlalu panjang tak bertepi
Di manakah kau menyembunyikan kawan
matahari
Di manakah juga kauletakkan bulan
yang menghilang lenyap
Perjumpaan kita tak pernah cukup
Bagaimana mungkin semua terjadi
hanya dalam mimpi
Di manakah kau disembunyikan
kebutaan hari
Di manakah juga kudiletakkan hingga
tak kunjung hilang lenyap
Kubacakan siang, kutunjukkan malam
Kuceritakan senja, kusampaikan pagi
Kekasihku yang masih jauh, aku baik
hari ini
Kini aku sedikit tahu Engkau di sana aku di sini
sedang ada di dunia yang melayangi
langit
kumau mengunjungimu selalu
HANTU
Kaugelapkan ruang hampa tempat
kubermukim lama
Bayang-bayang tak terlihat, cinta
pun telah menguap...
Di dinginnya dunia, kuteriakkan
sedikit kata
Sumirnya teka-teki siapa kau
sesungguhnya
Kumenangis dalam luka apakah kau
juga
Kutercabik teraniaya dan kau
terdiam saja
Menengadah langit luas kucari kau
tak ada
Di manakah engkau?
Hantu yang merampas tawa kini
tinggal dalam dada
Segala derita ini tak mungkin
tercabut
Hingga jauh kubawa cinta kosong tak
bernyawa
Berlari menujumu yang tak pernah
nyata
Kumenjerit dalam sakit, kau tak jua
datang
Kuterbuang dalam tahanan, engkau
tak mau berkutik
Kehilangan arah tujuan dan
terjerembab dalam jurang
Nyatakah engkau?
Kusujudi khayalan...
Kutanggung tanda silang yang terus
mendera punggungku.
Di manakah cakrawala yang pernah
kaujanjikan?
Hanya senja yang menua
menenggelamiku
Tapal batas menertawai hati yang
terguncang sepi
Di dalam dada ini mahatari telah
lama mati
“Lupakah kau pada penyaksian
perjanjian pertama?”
PENCIPTAAN NIHIL
Adam tak pernah terusir...
Malaikat merapat berjajar belajar
memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia
penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau
bersujud padaku.
Akulah cinta di seberang cinta!”
Tetapi mengapa salah satu yang
angkuh
menolak dan memalingkan muka
“Tuhan engkau menciptakanku
dari api sedang dia dari tanah hitam.”
“Apakah engkau hanya melihat Adam
dalam wujud terlihat
Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan
rahasiaku.
Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
makhluk dungu pemuja berhala!”
“Meski kelak engkau mengunyah buah
salah
Engkau tak pernah melanggar hukumku
Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam
semesta”
“Tuhan, kami adalah tempat segala
dosa dan kejahatan berpulang.
Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum
terlihat
Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati
tujuh langit
menujumu melebihi segala makhluk yang pernah
Kaucipta...”
PARA
PENGEMBARA
Jemput pagi itu!
Menarilah bersama para pengembara
yang telah melihat matahari
bersembunyi di balik rumpun bambu
sedang embun masih menetap
Mencarilah bersama para pengelana
yang telah mencium jejak para
bintang
tersembunyi di balik celah-celah
kecil
sedang malam masih mencekam...
Bertepuk tanganlah dengan kawan
seperjalanan
yang tengah berjalan pulang
menuju semesta di balik tubuh ini
sedang fajar belum merapat
Menara yang menjulang itu
kelak roboh dan tak sempat menabrak
langit
Belumlah terbaca berita bintang
jatuh
Bila engkau belum menutup mata yang
terbuka
dan Timur melebur, Barat
beristirahat
hidupkan nyala di musim yang
mendekatimu...
Jemput pagimu!
MURMURING UNIVERSE
“Where is our messiah?”
Hujan yang turun mengirimkan
ribuan tali putus menjerat tanah
Matahari robek oleh merah
yang dikandung jantungnya bermilyar
tahun
Kau tak kunjung kembali ke semesta
muram
Terlalu jauh pergi kutersesat
melawan kuasa
dan ketetapan hampa!
Bilakah tiba saat awan yang berarak
musnah diterjang api hancur
memberantak
Benarkah akan tiba raja para
matahari
Pertanyaan tak terhenti, tipuan apa
lagi?
“Jangan kau ragu bagaimana waktu
tak berkutik
lebih jauh dari anak panah yang terlontar enam
ratus tahun jarak.”
Kuterbangkan denyut nadi, mencuri
ruh pagi
Memperhatikanmu lagi.
SURGA BATU
Surga batu yang dikisahkan mulut ke
mulut
jatuh terjerembab pada pulau
bermakhluk mati
yang nyawanya dipasung pahala
berlipat
Surga buta yang diamati para
pembuka mata
mengendap-endap menuju pulau tak
berpenduduk
selain yang bidikannya tepat
tertuju
Kuberlayar menuju tepian samudera
terpikat kabar burung para penghuni
surga
“Tuhan kami bukan batu,
bukan pula tugu-tugu.
Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kupanjati tebing terjal, kutanyai
bintang muram
Surgaku palsu!
Medan perang suci tengah dibentangkan bagi
para pembeli surga yang malu
kelaparan
dan malaikat lintang-pukang
mencatati pahala bertumbangan.
“Tuhan kami bukan batu,
bukan pula tugu-tugu.
Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kusebut namamu, berlari menyembah
batu.
Kusebut namamu, memanggang bangkai
saudaraku.
Surgaku palsu!
SILANG SENGKETA
Setiap jengkal muka bumi, setiap
sudut ruang langit
bertekuk lutut memujamu sedang
malam panjangku membantah
Sang rembulan yang terpecah-belah
meniadakan pagi buta
Mereka datang mengobrak-abrik rumah
kayu rapuh tak bermakna
Sekian nyawa demi bahtera Nuh,
Jutaan sajak demi Muhammad
Milyaran tahun demi engkau...
Silang sengketa carut marut,
perhentianmu terlalu berlarut-larut
Kutekuk mulut bermanja
memenjarakanmu.
“Dari mataku, adakah bintang yang
lebih terang daripada matahari?”
DUDUK
“Engkau yang terduduk lemah tak
berdaya
Mari kucium untuk menenangkan
Dan engkau yang duduk penuh berkuasa
Mari kucium untuk menyenangkan
Engkau yang terduduk dalam putus asa
Mari kubasuh dengan hijau rerumputan
Dan engkau yang duduk dalam keteledoran
Mari kubasuh dengan merah matahari
Kulakukan segalanya kala kaupejam mata
Maka bukalah mata yang lain yang mampu
melihatku
Kauinginkan hal lain.
Di manakah terima kasih,
sudahkah ia duduk di sebelahmu?”
HAKIM AGUNG
Duniamu merapati senja tata surya
Hukum kuasa bumi tak lagi berlaku
Sejak kapan aku jatuh cinta?
barangkali jutaan mil ikut
terbawa...
Kauperintahkan gunung-gunung mati
berterbangan berkeliling bumi
Sejak kapan kau sang pencipta
menemani setiap detik alam semesta?
Kau di sini, di sebelahku yang tak
tertunjuk jarum kompas
Kau di sini, di seberangku yang tak
terjebak timur dan barat
Mengapa kumasih berniat untuk
menjadi Hakim Agung?
NASKAH HILANG
“Akan kami bentangkan permadani
merah
hingga ia jatuh ke bumi yang memerah”
Kusampai pada tanah kapur dan
berputar arah haluan
Segerombolan burung berterbangan
buyar di atas awan
Mereka turun ketakutan terkena
lontaran api fajar kemerahan...
Jatuh ke bumi dengan tawa, kami
merunduk bertiarap
Kautiup kapas di genggaman tangan
kuberkeliling berjeritan
Kudengar sepasukan semut
berkeliaran di bawah tanah
Halaman kitabku diambil orang
dimasukkan saku tak dikembalikan
Yang lain kusembunyikan di kotak
kayu yang mudah rapuh
Tuan di manakah sejarah yang lenyap
dibakar naskah laut mati?
Aku tegak berdiri di atas bangkaiku
yang tak mau mengenal namanya sendiri!
BUAH DADU DAN PAPAN CATUR
Jauh, jauh berkumandang jerit parau
Aku tak melihat engkau memerintah
Buah dadu telah jatuh. Angka-angka
berhamburan.
Tetapi ini adalah papan catur hitam
putih.
Panjang, panjang pengembaraan satu
kotak.
Aku tak mendengar engkau yang
mencipta.
Menteri berjalan miring, Raja maju
selangkah.
Tetapi tiada angka yang
menghantammu.
Hai Kekasih, aku lupa banyak hal
tentang engkau yang pernah
menciumiku
Di mana telah terjadi?
Kapankah kauulangi?
“Kuhajar bentengmu saat kaunaiki
kuda kuning langsatku.
Kulipat sang malam saat kaulihat sang malam
yang lain.”
Aku tak punya siasat!
PEMANJAT MATAHARI
Kupatahkan kaki tangga tempat
kumemanjat
matahari masih jauh dari hutan
pencakar langit
Barangkali Babel bukan sekadar
bualan kakek kerabatku
Penduduk langit bermata merah
mengirim ribuan bintang jatuh
“Jangan kauusik kami bila kau tak
berdaya-upaya!
Kau masih mabuk kepayang hingga lupa ingatan.”
Bagaimana cara memanjat
matahari-matahari
jika di setiap tepinya ada api yang
tertawa mengejarku?
“Wahai, Makhluk Tuhan paling baik
sedang belajar memanjat!”
MATAHARI DI DALAM MATAHARI
Matahari terluar berlidah merah
api liurnya melejit-lejit membakar
kosong ruang hampa
Di dalamnya matahari biru
ditawafinya tujuh kali, rukuk di
tiap perhenti.
Akan tetapi diterangkannya
kalimat-kalimat cahaya kepada delapan pengikut setia tata surya
yang mengelilinginya dengan berpejaman mata:
“Akulah yang mengandungnya. Akulah
sang inti mata.
Akulah penguasanya!”
BERMUSTAHILAN MATI
Di kota yang komat-kamit menjelang kantuk
Kuajak musim dingin mendekati
pintu-pintu rumah
“Kemari, bulan mati warna merah
telah bergantung menahun di puncak menara.”
Dia tersenyum ramah, “aku tak punya
buku cerita bergambar untuk menidurkanmu[1].”
Sekeliling nafasku, hawa putih
ditiupnya menjadi-jadi.
Kutumpuk kayu, “kau mau menemaniku
membakar api unggun?”
Dipergokinya dua pembawa kedai tua
sedang pulang, arang bersembunyi dalam tungku tanah liat
“Hai, kalian yang fasih bersedekap!
Tuangkan hangat di kuku temanmu yang pucat!”
Berempat kami bertukar tempat, api
menyala di ujung galah.
“Ini terakhir kalinya kita melihat kota yang
mengangguk-angguk mau mati.”
PERJAMUAN TIMUR DAN BARAT
Apa yang kautakutkan pada wajahku?
Segalanya telah kuperlihatkan padamu.
Adakah yang kauragu dari kalimatku? Semuanya
adalah tanda keberadaanku.
Rembulan menaburkan cahaya terakhir
di setiap penjuru perjamuan.
Kini kau mampu mendengar patahan
roda kereta pengangkut gandum berlarian kian kemari.
Mungkin nanti kaulihat pula hunian
lari bertelanjang kaki mengembarai para penghuni yang mengantuk dini hari
menertawai pasak yang tidak
ditancapkan dalam-dalam dan bilik bambu berlubang.
“Kami di mana?”
Apakah kau rindu tempat kuciumi
engkau pertama kali?
Apakah kau rindu tanah jauh saat
kita tak berjarak?
Jika benar adanya, inilah tanah tak
bertanahku.
[1] Bandingkan dengan lirik “Kasumi”
oleh Dir en Grey (album VULGAR):
“Kubuka
mata mendengar jerit tangis yang membahana di ruangan.
kubaca adik
perempuanku cerita dalam buku bergambar demi menghiburnya.
[Di
saat yang sama, terjadilah pembunuhan]
SEJARAH SAJAK LAVRATISLAVA 2008---2
Berikut ini semua sajak yang ada
dalam kumpulan “Kamar Penengadah”. Menurut saya sih, ini pencapaian yang cukup
bersejarah dalam kehidupan sajak-sajak saya. Selamat menikmati!
DAFTAR ISI
01. Mengunjungi Cinta
02. Hantu
03. Penciptaan Nihil
04. Para
Pengembara
05. Murmuring Universe
06. Surga Batu
07. Silang Sengketa
08. Duduk
09. Hakim Agung
10. Naskah Hilang
11. Buah Dadu dan Papan Catur
12. Pemanjat Matahari
13. Matahari di dalam Matahari
14. Bermustahilan Mati
15. Perjamuan Timur dan Barat
MENGUNJUNGI CINTA
Kuterjaga sedang engkau masih lelap
Bagaimana mungkin malam masihlah
terlalu panjang tak bertepi
Di manakah kau menyembunyikan kawan
matahari
Di manakah juga kauletakkan bulan
yang menghilang lenyap
Perjumpaan kita tak pernah cukup
Bagaimana mungkin semua terjadi
hanya dalam mimpi
Di manakah kau disembunyikan
kebutaan hari
Di manakah juga kudiletakkan hingga
tak kunjung hilang lenyap
Kubacakan siang, kutunjukkan malam
Kuceritakan senja, kusampaikan pagi
Kekasihku yang masih jauh, aku baik
hari ini
Kini aku sedikit tahu Engkau di sana aku di sini
sedang ada di dunia yang melayangi
langit
kumau mengunjungimu selalu
HANTU
Kaugelapkan ruang hampa tempat
kubermukim lama
Bayang-bayang tak terlihat, cinta
pun telah menguap...
Di dinginnya dunia, kuteriakkan
sedikit kata
Sumirnya teka-teki siapa kau
sesungguhnya
Kumenangis dalam luka apakah kau
juga
Kutercabik teraniaya dan kau
terdiam saja
Menengadah langit luas kucari kau
tak ada
Di manakah engkau?
Hantu yang merampas tawa kini
tinggal dalam dada
Segala derita ini tak mungkin
tercabut
Hingga jauh kubawa cinta kosong tak
bernyawa
Berlari menujumu yang tak pernah
nyata
Kumenjerit dalam sakit, kau tak jua
datang
Kuterbuang dalam tahanan, engkau
tak mau berkutik
Kehilangan arah tujuan dan
terjerembab dalam jurang
Nyatakah engkau?
Kusujudi khayalan...
Kutanggung tanda silang yang terus
mendera punggungku.
Di manakah cakrawala yang pernah
kaujanjikan?
Hanya senja yang menua
menenggelamiku
Tapal batas menertawai hati yang
terguncang sepi
Di dalam dada ini mahatari telah
lama mati
“Lupakah kau pada penyaksian
perjanjian pertama?”
PENCIPTAAN NIHIL
Adam tak pernah terusir...
Malaikat merapat berjajar belajar
memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia
penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau
bersujud padaku.
Akulah cinta di seberang cinta!”
Tetapi mengapa salah satu yang
angkuh
menolak dan memalingkan muka
“Tuhan engkau menciptakanku
dari api sedang dia dari tanah hitam.”
“Apakah engkau hanya melihat Adam
dalam wujud terlihat
Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan
rahasiaku.
Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
makhluk dungu pemuja berhala!”
“Meski kelak engkau mengunyah buah
salah
Engkau tak pernah melanggar hukumku
Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam
semesta”
“Tuhan, kami adalah tempat segala
dosa dan kejahatan berpulang.
Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum
terlihat
Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati
tujuh langit
menujumu melebihi segala makhluk yang pernah
Kaucipta...”
PARA
PENGEMBARA
Jemput pagi itu!
Menarilah bersama para pengembara
yang telah melihat matahari
bersembunyi di balik rumpun bambu
sedang embun masih menetap
Mencarilah bersama para pengelana
yang telah mencium jejak para
bintang
tersembunyi di balik celah-celah
kecil
sedang malam masih mencekam...
Bertepuk tanganlah dengan kawan
seperjalanan
yang tengah berjalan pulang
menuju semesta di balik tubuh ini
sedang fajar belum merapat
Menara yang menjulang itu
kelak roboh dan tak sempat menabrak
langit
Belumlah terbaca berita bintang
jatuh
Bila engkau belum menutup mata yang
terbuka
dan Timur melebur, Barat
beristirahat
hidupkan nyala di musim yang
mendekatimu...
Jemput pagimu!
MURMURING UNIVERSE
“Where is our messiah?”
Hujan yang turun mengirimkan
ribuan tali putus menjerat tanah
Matahari robek oleh merah
yang dikandung jantungnya bermilyar
tahun
Kau tak kunjung kembali ke semesta
muram
Terlalu jauh pergi kutersesat
melawan kuasa
dan ketetapan hampa!
Bilakah tiba saat awan yang berarak
musnah diterjang api hancur
memberantak
Benarkah akan tiba raja para
matahari
Pertanyaan tak terhenti, tipuan apa
lagi?
“Jangan kau ragu bagaimana waktu
tak berkutik
lebih jauh dari anak panah yang terlontar enam
ratus tahun jarak.”
Kuterbangkan denyut nadi, mencuri
ruh pagi
Memperhatikanmu lagi.
SURGA BATU
Surga batu yang dikisahkan mulut ke
mulut
jatuh terjerembab pada pulau
bermakhluk mati
yang nyawanya dipasung pahala
berlipat
Surga buta yang diamati para
pembuka mata
mengendap-endap menuju pulau tak
berpenduduk
selain yang bidikannya tepat
tertuju
Kuberlayar menuju tepian samudera
terpikat kabar burung para penghuni
surga
“Tuhan kami bukan batu,
bukan pula tugu-tugu.
Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kupanjati tebing terjal, kutanyai
bintang muram
Surgaku palsu!
Medan perang suci tengah dibentangkan bagi
para pembeli surga yang malu
kelaparan
dan malaikat lintang-pukang
mencatati pahala bertumbangan.
“Tuhan kami bukan batu,
bukan pula tugu-tugu.
Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kusebut namamu, berlari menyembah
batu.
Kusebut namamu, memanggang bangkai
saudaraku.
Surgaku palsu!
SILANG SENGKETA
Setiap jengkal muka bumi, setiap
sudut ruang langit
bertekuk lutut memujamu sedang
malam panjangku membantah
Sang rembulan yang terpecah-belah
meniadakan pagi buta
Mereka datang mengobrak-abrik rumah
kayu rapuh tak bermakna
Sekian nyawa demi bahtera Nuh,
Jutaan sajak demi Muhammad
Milyaran tahun demi engkau...
Silang sengketa carut marut,
perhentianmu terlalu berlarut-larut
Kutekuk mulut bermanja
memenjarakanmu.
“Dari mataku, adakah bintang yang
lebih terang daripada matahari?”
DUDUK
“Engkau yang terduduk lemah tak
berdaya
Mari kucium untuk menenangkan
Dan engkau yang duduk penuh berkuasa
Mari kucium untuk menyenangkan
Engkau yang terduduk dalam putus asa
Mari kubasuh dengan hijau rerumputan
Dan engkau yang duduk dalam keteledoran
Mari kubasuh dengan merah matahari
Kulakukan segalanya kala kaupejam mata
Maka bukalah mata yang lain yang mampu
melihatku
Kauinginkan hal lain.
Di manakah terima kasih,
sudahkah ia duduk di sebelahmu?”
HAKIM AGUNG
Duniamu merapati senja tata surya
Hukum kuasa bumi tak lagi berlaku
Sejak kapan aku jatuh cinta?
barangkali jutaan mil ikut
terbawa...
Kauperintahkan gunung-gunung mati
berterbangan berkeliling bumi
Sejak kapan kau sang pencipta
menemani setiap detik alam semesta?
Kau di sini, di sebelahku yang tak
tertunjuk jarum kompas
Kau di sini, di seberangku yang tak
terjebak timur dan barat
Mengapa kumasih berniat untuk
menjadi Hakim Agung?
NASKAH HILANG
“Akan kami bentangkan permadani
merah
hingga ia jatuh ke bumi yang memerah”
Kusampai pada tanah kapur dan
berputar arah haluan
Segerombolan burung berterbangan
buyar di atas awan
Mereka turun ketakutan terkena
lontaran api fajar kemerahan...
Jatuh ke bumi dengan tawa, kami
merunduk bertiarap
Kautiup kapas di genggaman tangan
kuberkeliling berjeritan
Kudengar sepasukan semut
berkeliaran di bawah tanah
Halaman kitabku diambil orang
dimasukkan saku tak dikembalikan
Yang lain kusembunyikan di kotak
kayu yang mudah rapuh
Tuan di manakah sejarah yang lenyap
dibakar naskah laut mati?
Aku tegak berdiri di atas bangkaiku
yang tak mau mengenal namanya sendiri!
BUAH DADU DAN PAPAN CATUR
Jauh, jauh berkumandang jerit parau
Aku tak melihat engkau memerintah
Buah dadu telah jatuh. Angka-angka
berhamburan.
Tetapi ini adalah papan catur hitam
putih.
Panjang, panjang pengembaraan satu
kotak.
Aku tak mendengar engkau yang
mencipta.
Menteri berjalan miring, Raja maju
selangkah.
Tetapi tiada angka yang
menghantammu.
Hai Kekasih, aku lupa banyak hal
tentang engkau yang pernah
menciumiku
Di mana telah terjadi?
Kapankah kauulangi?
“Kuhajar bentengmu saat kaunaiki
kuda kuning langsatku.
Kulipat sang malam saat kaulihat sang malam
yang lain.”
Aku tak punya siasat!
PEMANJAT MATAHARI
Kupatahkan kaki tangga tempat
kumemanjat
matahari masih jauh dari hutan
pencakar langit
Barangkali Babel bukan sekadar
bualan kakek kerabatku
Penduduk langit bermata merah
mengirim ribuan bintang jatuh
“Jangan kauusik kami bila kau tak
berdaya-upaya!
Kau masih mabuk kepayang hingga lupa ingatan.”
Bagaimana cara memanjat
matahari-matahari
jika di setiap tepinya ada api yang
tertawa mengejarku?
“Wahai, Makhluk Tuhan paling baik
sedang belajar memanjat!”
MATAHARI DI DALAM MATAHARI
Matahari terluar berlidah merah
api liurnya melejit-lejit membakar
kosong ruang hampa
Di dalamnya matahari biru
ditawafinya tujuh kali, rukuk di
tiap perhenti.
Akan tetapi diterangkannya
kalimat-kalimat cahaya kepada delapan pengikut setia tata surya
yang mengelilinginya dengan berpejaman mata:
“Akulah yang mengandungnya. Akulah
sang inti mata.
Akulah penguasanya!”
BERMUSTAHILAN MATI
Di kota yang komat-kamit menjelang kantuk
Kuajak musim dingin mendekati
pintu-pintu rumah
“Kemari, bulan mati warna merah
telah bergantung menahun di puncak menara.”
Dia tersenyum ramah, “aku tak punya
buku cerita bergambar untuk menidurkanmu[1].”
Sekeliling nafasku, hawa putih
ditiupnya menjadi-jadi.
Kutumpuk kayu, “kau mau menemaniku
membakar api unggun?”
Dipergokinya dua pembawa kedai tua
sedang pulang, arang bersembunyi dalam tungku tanah liat
“Hai, kalian yang fasih bersedekap!
Tuangkan hangat di kuku temanmu yang pucat!”
Berempat kami bertukar tempat, api
menyala di ujung galah.
“Ini terakhir kalinya kita melihat kota yang
mengangguk-angguk mau mati.”
PERJAMUAN TIMUR DAN BARAT
Apa yang kautakutkan pada wajahku?
Segalanya telah kuperlihatkan padamu.
Adakah yang kauragu dari kalimatku? Semuanya
adalah tanda keberadaanku.
Rembulan menaburkan cahaya terakhir
di setiap penjuru perjamuan.
Kini kau mampu mendengar patahan
roda kereta pengangkut gandum berlarian kian kemari.
Mungkin nanti kaulihat pula hunian
lari bertelanjang kaki mengembarai para penghuni yang mengantuk dini hari
menertawai pasak yang tidak
ditancapkan dalam-dalam dan bilik bambu berlubang.
“Kami di mana?”
Apakah kau rindu tempat kuciumi
engkau pertama kali?
Apakah kau rindu tanah jauh saat
kita tak berjarak?
Jika benar adanya, inilah tanah tak
bertanahku.
[1] Bandingkan dengan lirik “Kasumi”
oleh Dir en Grey (album VULGAR):
“Kubuka
mata mendengar jerit tangis yang membahana di ruangan.
kubaca adik
perempuanku cerita dalam buku bergambar demi menghiburnya.
[Di
saat yang sama, terjadilah pembunuhan]
No comments:
Post a Comment