Saturday, July 12, 2014

Kumpulan Sajak Fitra Firdaus Aden Tahun 2008 (Bagian 2)



Berikut ini semua sajak yang ada dalam kumpulan “Kamar Penengadah”. Menurut saya sih, ini pencapaian yang cukup bersejarah dalam kehidupan sajak-sajak saya. Selamat menikmati!

01. Mengunjungi Cinta
02. Hantu
03. Penciptaan Nihil
04. Para Pengembara
05. Murmuring Universe
06. Surga Batu
07. Silang Sengketa
08. Duduk
09. Hakim Agung
10. Naskah Hilang
11. Buah Dadu dan Papan Catur
12. Pemanjat Matahari
13. Matahari di dalam Matahari
14. Bermustahilan Mati
15. Perjamuan Timur dan Barat







MENGUNJUNGI CINTA

Kuterjaga sedang engkau masih lelap
Bagaimana mungkin malam masihlah terlalu panjang tak bertepi
Di manakah kau menyembunyikan kawan matahari
Di manakah juga kauletakkan bulan yang menghilang lenyap

Perjumpaan kita tak pernah cukup
Bagaimana mungkin semua terjadi hanya dalam mimpi
Di manakah kau disembunyikan kebutaan hari
Di manakah juga kudiletakkan hingga tak kunjung hilang lenyap

Kubacakan siang, kutunjukkan malam
Kuceritakan senja, kusampaikan pagi

Kekasihku yang masih jauh, aku baik hari ini
Kini aku sedikit tahu Engkau di sana aku di sini
sedang ada di dunia yang melayangi langit
kumau mengunjungimu selalu








HANTU

Kaugelapkan ruang hampa tempat kubermukim lama
Bayang-bayang tak terlihat, cinta pun telah menguap...
Di dinginnya dunia, kuteriakkan sedikit kata
Sumirnya teka-teki siapa kau sesungguhnya

Kumenangis dalam luka apakah kau juga
Kutercabik teraniaya dan kau terdiam saja
Menengadah langit luas kucari kau tak ada
Di manakah engkau?

Hantu yang merampas tawa kini tinggal dalam dada
Segala derita ini tak mungkin tercabut
Hingga jauh kubawa cinta kosong tak bernyawa
Berlari menujumu yang tak pernah nyata

Kumenjerit dalam sakit, kau tak jua datang
Kuterbuang dalam tahanan, engkau tak mau berkutik
Kehilangan arah tujuan dan terjerembab dalam jurang
Nyatakah engkau?

Kusujudi khayalan...
Kutanggung tanda silang yang terus mendera punggungku.

Di manakah cakrawala yang pernah kaujanjikan?
Hanya senja yang menua menenggelamiku
Tapal batas menertawai hati yang terguncang sepi
Di dalam dada ini mahatari telah lama mati
“Lupakah kau pada penyaksian perjanjian pertama?”








PENCIPTAAN NIHIL

Adam tak pernah terusir...
Malaikat merapat berjajar belajar memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau bersujud padaku.
 Akulah cinta di seberang cinta!”

Tetapi mengapa salah satu yang angkuh
menolak dan memalingkan muka
“Tuhan engkau menciptakanku
 dari api sedang dia dari tanah hitam.”

“Apakah engkau hanya melihat Adam dalam wujud terlihat
 Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan rahasiaku.
 Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
 makhluk dungu pemuja berhala!”

“Meski kelak engkau mengunyah buah salah
 Engkau tak pernah melanggar hukumku
 Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
 yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam semesta”

“Tuhan, kami adalah tempat segala dosa dan kejahatan berpulang.
 Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum terlihat
 Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati tujuh langit
 menujumu melebihi segala makhluk yang pernah Kaucipta...”







PARA PENGEMBARA

Jemput pagi itu!
Menarilah bersama para pengembara
yang telah melihat matahari
bersembunyi di balik rumpun bambu
sedang embun masih menetap

Mencarilah bersama para pengelana
yang telah mencium jejak para bintang
tersembunyi di balik celah-celah kecil
sedang malam masih mencekam...

Bertepuk tanganlah dengan kawan seperjalanan
yang tengah berjalan pulang
menuju semesta di balik tubuh ini
sedang fajar belum merapat

Menara yang menjulang itu
kelak roboh dan tak sempat menabrak langit

Belumlah terbaca berita bintang jatuh
Bila engkau belum menutup mata yang terbuka
dan Timur melebur, Barat beristirahat
hidupkan nyala di musim yang mendekatimu...
Jemput pagimu!









MURMURING UNIVERSE

“Where is our messiah?”

Hujan yang turun mengirimkan
ribuan tali putus menjerat tanah
Matahari robek oleh merah
yang dikandung jantungnya bermilyar tahun

Kau tak kunjung kembali ke semesta muram
Terlalu jauh pergi kutersesat melawan kuasa
dan ketetapan hampa!

Bilakah tiba saat awan yang berarak
musnah diterjang api hancur memberantak
Benarkah akan tiba raja para matahari
Pertanyaan tak terhenti, tipuan apa lagi?

“Jangan kau ragu bagaimana waktu tak berkutik
 lebih jauh dari anak panah yang terlontar enam ratus tahun jarak.”

Kuterbangkan denyut nadi, mencuri ruh pagi
Memperhatikanmu lagi.








SURGA BATU

Surga batu yang dikisahkan mulut ke mulut
jatuh terjerembab pada pulau bermakhluk mati
yang nyawanya dipasung pahala berlipat

Surga buta yang diamati para pembuka mata
mengendap-endap menuju pulau tak berpenduduk
selain yang bidikannya tepat tertuju

Kuberlayar menuju tepian samudera
terpikat kabar burung para penghuni surga

“Tuhan kami bukan batu,
 bukan pula tugu-tugu.
 Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kupanjati tebing terjal, kutanyai bintang muram
Surgaku palsu!

Medan perang suci tengah dibentangkan bagi
para pembeli surga yang malu kelaparan
dan malaikat lintang-pukang mencatati pahala bertumbangan.

“Tuhan kami bukan batu,
 bukan pula tugu-tugu.
 Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kusebut namamu, berlari menyembah batu.
Kusebut namamu, memanggang bangkai saudaraku.
Surgaku palsu!








SILANG SENGKETA

Setiap jengkal muka bumi, setiap sudut ruang langit
bertekuk lutut memujamu sedang malam panjangku membantah
Sang rembulan yang terpecah-belah meniadakan pagi buta
Mereka datang mengobrak-abrik rumah kayu rapuh tak bermakna

Sekian nyawa demi bahtera Nuh, Jutaan sajak demi Muhammad
Milyaran tahun demi engkau...

Silang sengketa carut marut, perhentianmu terlalu berlarut-larut
Kutekuk mulut bermanja memenjarakanmu.

“Dari mataku, adakah bintang yang lebih terang daripada matahari?”








DUDUK

“Engkau yang terduduk lemah tak berdaya
 Mari kucium untuk menenangkan
 Dan engkau yang duduk penuh berkuasa
 Mari kucium untuk menyenangkan

 Engkau yang terduduk dalam putus asa
 Mari kubasuh dengan hijau rerumputan
 Dan engkau yang duduk dalam keteledoran
 Mari kubasuh dengan merah matahari

 Kulakukan segalanya kala kaupejam mata
 Maka bukalah mata yang lain yang mampu melihatku
 Kauinginkan hal lain.
 Di manakah terima kasih,
 sudahkah ia duduk di sebelahmu?”








HAKIM AGUNG

Duniamu merapati senja tata surya
Hukum kuasa bumi tak lagi berlaku
Sejak kapan aku jatuh cinta?
barangkali jutaan mil ikut terbawa...

Kauperintahkan gunung-gunung mati
berterbangan berkeliling bumi
Sejak kapan kau sang pencipta
menemani setiap detik alam semesta?

Kau di sini, di sebelahku yang tak tertunjuk jarum kompas
Kau di sini, di seberangku yang tak terjebak timur dan barat
Mengapa kumasih berniat untuk menjadi Hakim Agung?






NASKAH HILANG

“Akan kami bentangkan permadani merah
 hingga ia jatuh ke bumi yang memerah”

Kusampai pada tanah kapur dan berputar arah haluan
Segerombolan burung berterbangan buyar di atas awan
Mereka turun ketakutan terkena lontaran api fajar kemerahan...
Jatuh ke bumi dengan tawa, kami merunduk bertiarap

Kautiup kapas di genggaman tangan kuberkeliling berjeritan
Kudengar sepasukan semut berkeliaran di bawah tanah
Halaman kitabku diambil orang dimasukkan saku tak dikembalikan
Yang lain kusembunyikan di kotak kayu yang mudah rapuh

Tuan di manakah sejarah yang lenyap dibakar naskah laut mati?
Aku tegak berdiri di atas bangkaiku yang tak mau mengenal namanya sendiri!







BUAH DADU DAN PAPAN CATUR

Jauh, jauh berkumandang jerit parau
Aku tak melihat engkau memerintah
Buah dadu telah jatuh. Angka-angka berhamburan.
Tetapi ini adalah papan catur hitam putih.

Panjang, panjang pengembaraan satu kotak.
Aku tak mendengar engkau yang mencipta.
Menteri berjalan miring, Raja maju selangkah.
Tetapi tiada angka yang menghantammu.

Hai Kekasih, aku lupa banyak hal
tentang engkau yang pernah menciumiku
Di mana telah terjadi?
Kapankah kauulangi?

“Kuhajar bentengmu saat kaunaiki kuda kuning langsatku.
 Kulipat sang malam saat kaulihat sang malam yang lain.”
Aku tak punya siasat!






PEMANJAT MATAHARI

Kupatahkan kaki tangga tempat kumemanjat
matahari masih jauh dari hutan pencakar langit
Barangkali Babel bukan sekadar bualan kakek kerabatku
Penduduk langit bermata merah mengirim ribuan bintang jatuh

“Jangan kauusik kami bila kau tak berdaya-upaya!
 Kau masih mabuk kepayang hingga lupa ingatan.”

Bagaimana cara memanjat matahari-matahari
jika di setiap tepinya ada api yang tertawa mengejarku?

“Wahai, Makhluk Tuhan paling baik sedang belajar memanjat!”







MATAHARI DI DALAM MATAHARI

Matahari terluar berlidah merah
api liurnya melejit-lejit membakar kosong ruang hampa

Di dalamnya matahari biru
ditawafinya tujuh kali, rukuk di tiap perhenti.

Akan tetapi diterangkannya kalimat-kalimat cahaya kepada delapan pengikut setia tata surya
 yang mengelilinginya dengan berpejaman mata:
“Akulah yang mengandungnya. Akulah sang inti mata.
 Akulah penguasanya!”







BERMUSTAHILAN MATI

Di kota yang komat-kamit menjelang kantuk
Kuajak musim dingin mendekati pintu-pintu rumah
“Kemari, bulan mati warna merah telah bergantung menahun di puncak menara.”

Dia tersenyum ramah, “aku tak punya buku cerita bergambar untuk menidurkanmu[1].”
Sekeliling nafasku, hawa putih ditiupnya menjadi-jadi.

Kutumpuk kayu, “kau mau menemaniku membakar api unggun?”

Dipergokinya dua pembawa kedai tua sedang pulang, arang bersembunyi dalam tungku tanah liat
“Hai, kalian yang fasih bersedekap! Tuangkan hangat di kuku temanmu yang pucat!”

Berempat kami bertukar tempat, api menyala di ujung galah.
“Ini terakhir kalinya kita melihat kota yang mengangguk-angguk mau mati.”







PERJAMUAN TIMUR DAN BARAT

Apa yang kautakutkan pada wajahku? Segalanya telah kuperlihatkan padamu.
 Adakah yang kauragu dari kalimatku? Semuanya adalah tanda keberadaanku.

Rembulan menaburkan cahaya terakhir di setiap penjuru perjamuan.
Kini kau mampu mendengar patahan roda kereta pengangkut gandum berlarian kian kemari.
Mungkin nanti kaulihat pula hunian lari bertelanjang kaki mengembarai para penghuni yang mengantuk dini hari
menertawai pasak yang tidak ditancapkan dalam-dalam dan bilik bambu berlubang.

“Kami di mana?”

Apakah kau rindu tempat kuciumi engkau pertama kali?
Apakah kau rindu tanah jauh saat kita tak berjarak?
Jika benar adanya, inilah tanah tak bertanahku.








[1] Bandingkan dengan lirik “Kasumi” oleh Dir en Grey (album VULGAR):
“Kubuka mata mendengar jerit tangis yang membahana di ruangan.
kubaca adik perempuanku cerita dalam buku bergambar demi menghiburnya.
[Di saat yang sama, terjadilah pembunuhan]


SEJARAH SAJAK LAVRATISLAVA 2008---2


Berikut ini semua sajak yang ada dalam kumpulan “Kamar Penengadah”. Menurut saya sih, ini pencapaian yang cukup bersejarah dalam kehidupan sajak-sajak saya. Selamat menikmati!

DAFTAR ISI
01. Mengunjungi Cinta
02. Hantu
03. Penciptaan Nihil
04. Para Pengembara
05. Murmuring Universe
06. Surga Batu
07. Silang Sengketa
08. Duduk
09. Hakim Agung
10. Naskah Hilang
11. Buah Dadu dan Papan Catur
12. Pemanjat Matahari
13. Matahari di dalam Matahari
14. Bermustahilan Mati
15. Perjamuan Timur dan Barat







MENGUNJUNGI CINTA

Kuterjaga sedang engkau masih lelap
Bagaimana mungkin malam masihlah terlalu panjang tak bertepi
Di manakah kau menyembunyikan kawan matahari
Di manakah juga kauletakkan bulan yang menghilang lenyap

Perjumpaan kita tak pernah cukup
Bagaimana mungkin semua terjadi hanya dalam mimpi
Di manakah kau disembunyikan kebutaan hari
Di manakah juga kudiletakkan hingga tak kunjung hilang lenyap

Kubacakan siang, kutunjukkan malam
Kuceritakan senja, kusampaikan pagi

Kekasihku yang masih jauh, aku baik hari ini
Kini aku sedikit tahu Engkau di sana aku di sini
sedang ada di dunia yang melayangi langit
kumau mengunjungimu selalu








HANTU

Kaugelapkan ruang hampa tempat kubermukim lama
Bayang-bayang tak terlihat, cinta pun telah menguap...
Di dinginnya dunia, kuteriakkan sedikit kata
Sumirnya teka-teki siapa kau sesungguhnya

Kumenangis dalam luka apakah kau juga
Kutercabik teraniaya dan kau terdiam saja
Menengadah langit luas kucari kau tak ada
Di manakah engkau?

Hantu yang merampas tawa kini tinggal dalam dada
Segala derita ini tak mungkin tercabut
Hingga jauh kubawa cinta kosong tak bernyawa
Berlari menujumu yang tak pernah nyata

Kumenjerit dalam sakit, kau tak jua datang
Kuterbuang dalam tahanan, engkau tak mau berkutik
Kehilangan arah tujuan dan terjerembab dalam jurang
Nyatakah engkau?

Kusujudi khayalan...
Kutanggung tanda silang yang terus mendera punggungku.

Di manakah cakrawala yang pernah kaujanjikan?
Hanya senja yang menua menenggelamiku
Tapal batas menertawai hati yang terguncang sepi
Di dalam dada ini mahatari telah lama mati
“Lupakah kau pada penyaksian perjanjian pertama?”








PENCIPTAAN NIHIL

Adam tak pernah terusir...
Malaikat merapat berjajar belajar memahami hakikat cintamu
yang tertuang dalam rahasia penciptaan Adam sang nihil
“Bersujudlah padanya seperti kau bersujud padaku.
 Akulah cinta di seberang cinta!”

Tetapi mengapa salah satu yang angkuh
menolak dan memalingkan muka
“Tuhan engkau menciptakanku
 dari api sedang dia dari tanah hitam.”

“Apakah engkau hanya melihat Adam dalam wujud terlihat
 Lihatlah di balik tanah itu tersembunyi jutaan rahasiaku.
 Dusta apa lagi yang sedang kaurancang
 makhluk dungu pemuja berhala!”

“Meski kelak engkau mengunyah buah salah
 Engkau tak pernah melanggar hukumku
 Kuturunkan kau ke bumi sebagai pemimpin
 yang mengajarkan cinta ke seluruh penjuru alam semesta”

“Tuhan, kami adalah tempat segala dosa dan kejahatan berpulang.
 Kuberjalan di dunia demi cinta yang belum terlihat
 Dan bila tiba waktu kembali akan kulewati tujuh langit
 menujumu melebihi segala makhluk yang pernah Kaucipta...”







PARA PENGEMBARA

Jemput pagi itu!
Menarilah bersama para pengembara
yang telah melihat matahari
bersembunyi di balik rumpun bambu
sedang embun masih menetap

Mencarilah bersama para pengelana
yang telah mencium jejak para bintang
tersembunyi di balik celah-celah kecil
sedang malam masih mencekam...

Bertepuk tanganlah dengan kawan seperjalanan
yang tengah berjalan pulang
menuju semesta di balik tubuh ini
sedang fajar belum merapat

Menara yang menjulang itu
kelak roboh dan tak sempat menabrak langit

Belumlah terbaca berita bintang jatuh
Bila engkau belum menutup mata yang terbuka
dan Timur melebur, Barat beristirahat
hidupkan nyala di musim yang mendekatimu...
Jemput pagimu!









MURMURING UNIVERSE

“Where is our messiah?”

Hujan yang turun mengirimkan
ribuan tali putus menjerat tanah
Matahari robek oleh merah
yang dikandung jantungnya bermilyar tahun

Kau tak kunjung kembali ke semesta muram
Terlalu jauh pergi kutersesat melawan kuasa
dan ketetapan hampa!

Bilakah tiba saat awan yang berarak
musnah diterjang api hancur memberantak
Benarkah akan tiba raja para matahari
Pertanyaan tak terhenti, tipuan apa lagi?

“Jangan kau ragu bagaimana waktu tak berkutik
 lebih jauh dari anak panah yang terlontar enam ratus tahun jarak.”

Kuterbangkan denyut nadi, mencuri ruh pagi
Memperhatikanmu lagi.








SURGA BATU

Surga batu yang dikisahkan mulut ke mulut
jatuh terjerembab pada pulau bermakhluk mati
yang nyawanya dipasung pahala berlipat

Surga buta yang diamati para pembuka mata
mengendap-endap menuju pulau tak berpenduduk
selain yang bidikannya tepat tertuju

Kuberlayar menuju tepian samudera
terpikat kabar burung para penghuni surga

“Tuhan kami bukan batu,
 bukan pula tugu-tugu.
 Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kupanjati tebing terjal, kutanyai bintang muram
Surgaku palsu!

Medan perang suci tengah dibentangkan bagi
para pembeli surga yang malu kelaparan
dan malaikat lintang-pukang mencatati pahala bertumbangan.

“Tuhan kami bukan batu,
 bukan pula tugu-tugu.
 Apalagi laki-laki, wanita, dan anak-anak.”
Kusebut namamu, berlari menyembah batu.
Kusebut namamu, memanggang bangkai saudaraku.
Surgaku palsu!








SILANG SENGKETA

Setiap jengkal muka bumi, setiap sudut ruang langit
bertekuk lutut memujamu sedang malam panjangku membantah
Sang rembulan yang terpecah-belah meniadakan pagi buta
Mereka datang mengobrak-abrik rumah kayu rapuh tak bermakna

Sekian nyawa demi bahtera Nuh, Jutaan sajak demi Muhammad
Milyaran tahun demi engkau...

Silang sengketa carut marut, perhentianmu terlalu berlarut-larut
Kutekuk mulut bermanja memenjarakanmu.

“Dari mataku, adakah bintang yang lebih terang daripada matahari?”








DUDUK

“Engkau yang terduduk lemah tak berdaya
 Mari kucium untuk menenangkan
 Dan engkau yang duduk penuh berkuasa
 Mari kucium untuk menyenangkan

 Engkau yang terduduk dalam putus asa
 Mari kubasuh dengan hijau rerumputan
 Dan engkau yang duduk dalam keteledoran
 Mari kubasuh dengan merah matahari

 Kulakukan segalanya kala kaupejam mata
 Maka bukalah mata yang lain yang mampu melihatku
 Kauinginkan hal lain.
 Di manakah terima kasih,
 sudahkah ia duduk di sebelahmu?”








HAKIM AGUNG

Duniamu merapati senja tata surya
Hukum kuasa bumi tak lagi berlaku
Sejak kapan aku jatuh cinta?
barangkali jutaan mil ikut terbawa...

Kauperintahkan gunung-gunung mati
berterbangan berkeliling bumi
Sejak kapan kau sang pencipta
menemani setiap detik alam semesta?

Kau di sini, di sebelahku yang tak tertunjuk jarum kompas
Kau di sini, di seberangku yang tak terjebak timur dan barat
Mengapa kumasih berniat untuk menjadi Hakim Agung?






NASKAH HILANG

“Akan kami bentangkan permadani merah
 hingga ia jatuh ke bumi yang memerah”

Kusampai pada tanah kapur dan berputar arah haluan
Segerombolan burung berterbangan buyar di atas awan
Mereka turun ketakutan terkena lontaran api fajar kemerahan...
Jatuh ke bumi dengan tawa, kami merunduk bertiarap

Kautiup kapas di genggaman tangan kuberkeliling berjeritan
Kudengar sepasukan semut berkeliaran di bawah tanah
Halaman kitabku diambil orang dimasukkan saku tak dikembalikan
Yang lain kusembunyikan di kotak kayu yang mudah rapuh

Tuan di manakah sejarah yang lenyap dibakar naskah laut mati?
Aku tegak berdiri di atas bangkaiku yang tak mau mengenal namanya sendiri!







BUAH DADU DAN PAPAN CATUR

Jauh, jauh berkumandang jerit parau
Aku tak melihat engkau memerintah
Buah dadu telah jatuh. Angka-angka berhamburan.
Tetapi ini adalah papan catur hitam putih.

Panjang, panjang pengembaraan satu kotak.
Aku tak mendengar engkau yang mencipta.
Menteri berjalan miring, Raja maju selangkah.
Tetapi tiada angka yang menghantammu.

Hai Kekasih, aku lupa banyak hal
tentang engkau yang pernah menciumiku
Di mana telah terjadi?
Kapankah kauulangi?

“Kuhajar bentengmu saat kaunaiki kuda kuning langsatku.
 Kulipat sang malam saat kaulihat sang malam yang lain.”
Aku tak punya siasat!






PEMANJAT MATAHARI

Kupatahkan kaki tangga tempat kumemanjat
matahari masih jauh dari hutan pencakar langit
Barangkali Babel bukan sekadar bualan kakek kerabatku
Penduduk langit bermata merah mengirim ribuan bintang jatuh

“Jangan kauusik kami bila kau tak berdaya-upaya!
 Kau masih mabuk kepayang hingga lupa ingatan.”

Bagaimana cara memanjat matahari-matahari
jika di setiap tepinya ada api yang tertawa mengejarku?

“Wahai, Makhluk Tuhan paling baik sedang belajar memanjat!”







MATAHARI DI DALAM MATAHARI

Matahari terluar berlidah merah
api liurnya melejit-lejit membakar kosong ruang hampa

Di dalamnya matahari biru
ditawafinya tujuh kali, rukuk di tiap perhenti.

Akan tetapi diterangkannya kalimat-kalimat cahaya kepada delapan pengikut setia tata surya
 yang mengelilinginya dengan berpejaman mata:
“Akulah yang mengandungnya. Akulah sang inti mata.
 Akulah penguasanya!”







BERMUSTAHILAN MATI

Di kota yang komat-kamit menjelang kantuk
Kuajak musim dingin mendekati pintu-pintu rumah
“Kemari, bulan mati warna merah telah bergantung menahun di puncak menara.”

Dia tersenyum ramah, “aku tak punya buku cerita bergambar untuk menidurkanmu[1].”
Sekeliling nafasku, hawa putih ditiupnya menjadi-jadi.

Kutumpuk kayu, “kau mau menemaniku membakar api unggun?”

Dipergokinya dua pembawa kedai tua sedang pulang, arang bersembunyi dalam tungku tanah liat
“Hai, kalian yang fasih bersedekap! Tuangkan hangat di kuku temanmu yang pucat!”

Berempat kami bertukar tempat, api menyala di ujung galah.
“Ini terakhir kalinya kita melihat kota yang mengangguk-angguk mau mati.”







PERJAMUAN TIMUR DAN BARAT

Apa yang kautakutkan pada wajahku? Segalanya telah kuperlihatkan padamu.
 Adakah yang kauragu dari kalimatku? Semuanya adalah tanda keberadaanku.

Rembulan menaburkan cahaya terakhir di setiap penjuru perjamuan.
Kini kau mampu mendengar patahan roda kereta pengangkut gandum berlarian kian kemari.
Mungkin nanti kaulihat pula hunian lari bertelanjang kaki mengembarai para penghuni yang mengantuk dini hari
menertawai pasak yang tidak ditancapkan dalam-dalam dan bilik bambu berlubang.

“Kami di mana?”

Apakah kau rindu tempat kuciumi engkau pertama kali?
Apakah kau rindu tanah jauh saat kita tak berjarak?
Jika benar adanya, inilah tanah tak bertanahku.








[1] Bandingkan dengan lirik “Kasumi” oleh Dir en Grey (album VULGAR):
“Kubuka mata mendengar jerit tangis yang membahana di ruangan.
kubaca adik perempuanku cerita dalam buku bergambar demi menghiburnya.
[Di saat yang sama, terjadilah pembunuhan]

No comments:

Post a Comment