Menulis sajak sudah saya lakukan sejak duduk di bangku kelas tiga SMP. Perkenalan saya dengan karya sastra bisa dibilang cukup terlambat. Tahun itu sedang gandrung-gandungnya membaca buku karya Kahlil Gibran, terpengaruh dari kalimat-kalimatnya yang cukup sering dicuplik oleh band paling favorit saat itu, Dewa 19. Berikut beberapa sajak saya sepanjang tahun 2002 tersebut.
01. Dunia dalam Otak (Robi)
02. Relaksasi Aus
03. Di antara Biru
04. Kehilangan Sentuhan
05. Kesebelas
06. Ketigabelas
07. Keempatbelas
08. Ketika...
09. Merdeka atau Dimerdekakan?!
10. Tutup Buku
11. Basah
12. Sebelum Akhir
13. Hari Air Mata
14. Diam
(Robi)
Sesuatu telah menceritakan padaku
seseorang yang telah melupakan hidupnya. Akupun bertanya dalam hati, “Apakah
dia sang penyair sebenarnya yang telah menanggalkan kehidupannya? Ataukah dia hanya
orang yang mati dalam kehidupannya karena hidup hanya mengejar bayangan dan
dialah yang pertama kali mengetahuinya...?”
Lalu kubertemu dengan dia.
Kubertanya padanya...
Dia menjawab, “Aku telah kehilangan
tanganku yang kini masih tertanam di tubuhku... Aku telah kehilangan mataku
yang kini masih ada di kepalaku... tapi beberapa waktu yang lalu, aku memiliki
dunia sendiri yang lebih indah daripada dunia ini.”
“Kulihat hewan berakal yang bekerja
dengan nafsu. Ada
juga manusia bodoh yang hanya berdiri terus di persimpangan jalan. Juga manusia
dengan otak dan hati di bawah telapak kakinya. Ada orang bisu yang bisa berbicara. Ada orang yang selalu
tenang. Dan di langit tergantung benda-benda aneh. Dan setiap kali aku
melihatnya, aku tidak ingin bangun dari duniaku.”
“Apakah kamu ingin membagi duniamu
padaku?”
“Tidak”, katanya.
Akhirnya aku tak tahu siapa yang
benar. Saat aku melanjutkan perjalanan, aku sempat menoleh dan kulihat...
seonggok tubuh tergeletak di
tempatnya berdiri.
20.05.02.mlm.
RELAKSASI AUS[1]
Ini aku, matahari... yang tersenyum
di sumur ini.
Lihat satu-satu wajah itu. Adakah
mereka melihat langit yang sama?
Ini bukan rumusan, tapi konsep
relaksasi.
Genggamanku erat pada ujung pena
ini,
di luar kamu hangat di antara yang
teduh.
Mata-mata berkeliaran. Coba izinkan
aku!
Sedetik saja, matahari kucium
warnamu...
Mengapa semua berubah? Ini
metamorfosis!
Di sini aku melihat, satu
berganti... inikah?
Sudah kujalani hingga aus.
Tapi bukan berarti yang aus itu tak
punya makna!
Jawaban datang silih berganti, ada
jalan kecil
sisipkan sinarmu di sini, seperti
mereka
Ayolah, sebelum kami terbang
tinggi...
Kami kupu-kupu liar, aku lihat itu!
Dari relaksasi aus, mengapa kamu
menghindar?
Aku lain dari sisi-sisi tegak itu!
Apa aku hebat? Aku penentang arus...
Di sana-sini sungai, di atas
matahari
di depan gelap, di belakang...
jurang
27.05.02
DI ANTARA BIRU[2]
Biru terus ada di langit luas
ditemani awan-gemawan yang
mencintainya
Biru terus ada di laut samudera
ditemani buih-buih yang
merindukannya
Biru merasuki dataran yang
terhampar
biru menemani kebekuan tanya
kekasih
di antaranya ada makna-makna tajam
tentang pola-pola kehidupan yang
mengkristal.
Di sini padang salju kehidupan... dingin
luka-luka tertanam di kebekuan
tanpa ciuman hangat kekasih
angkasa kosong... didekap biru yang
pekat
Biarkan kedinginan menyatu di jasad
tanpa gerak teratur... tanpa biru
kesunyian mendirikan kuil pemujaan
di antaranya biru masuk melalui
celah hati
dengan ritme, mengalir ke pangkuan
langit
Mata ini cuma memandang antara biru
dan putih
tanpa di antaranya ruang cinta
kosong... ya, di antara biru
di antara pola-pola hidup yang
membeku
19.05.2002
KEHILANGAN SENTUHAN[3]
Tanpa nyawa di sini... hanya hitam
Kertas berhamburan... tanpa syair
jamah saja aku sentuhanku
aku rindu di pekat ini
Gugur, satu-satu mati
dan bisikan jadi hantu di dingin
kering kerontang, tapi ada hujan
dan daun tumbuh lagi
Aku kehilangan sentuhan
di waktu yang menggenggam... “Cinta?”
pun tak ingin hilang
biar berubah satu-satu
toh bunga anggrek tetap anggun
Ini aku di sisi yang lain
mudahkah lentera pemahaman?
Ini aku sebagai penebus
bukan penghibur lagi
Aku berada di sisi jurang
beda di jiwa kalian yang terjal
biar saja seperti ini
kehilangan sentuhan awal
biar lahir sentuhan yang
menjamah nurani... lebih berarti
20.05.2002
DI NEGERI IMPIAN[4]
Masuki lorong kelelapan, kekasij
Cahaya jiwa lebih mudah di situ
Ada jalan kenyataan, runtuhkan
Menyambangi negeri impian
Ini tanda cinta dari Tuhan
bukan simbol kemunafikan penyair
antara kita ada pertautan
di sinilah... di negeri impian
Tumpahkan air mata...
sati-satu titik... perlahan
Lemparkan senyuman...
tipis dan menebal... pelan
Semuanya yang maya
jangan ragu
dunia di sini milik kita sebelum
fajar
Mari dirikan tiang kebahagiaan,
jangan rapuhkan
Ini misi, bukan hanya pertautan
khayalan
Kalau bijak, hampiri negeri ini
Lukisan hidup abstrak dan cantas!
Mari sandarkan diri, teman...
lelaplah
karena hidup menelanjangi kelelahan
jiwa
berbaring dan hirup angin khayalan
dunia ini milikmu... hanya kamu...
tentukanlah!
Hanya milikmu sebelum matahari
terjaga lagi.
22.05.2002
KESEBELAS[5]
Kuhirup kembali udaraku, Tuhan
terima kasih kau beri waktu
tapi kutak ingin usai hirup
udara ini Tuhan
udara kebebasan
tolonglah, beri aku kebebasan
dari penderitaan masa lampau
KETIGABELAS
Tuhan, kuucapkan terima kasih
kauselamatkan aku dari pagi
27 Juni 2002
KEEMPATBELAS
Makin berat, Tuhan
dan isilah hatiku dengan
tiupan angin fajar
28 Juni 2002
KETIKA
Ketika lahir, aku tak tahu
Ketika kecil, aku bersandar
Ketika remaja, aku bersimpuh
Ketika tua, aku bersujud
Ketika mati, aku... mengecup
pembaringan!
MERDEKA ATAU DIMERDEKAKAN?!
Bingarmu saat pidato terucap,
mengetuk pintu merdeka sambil
teriak,
“Merdeka!! Merdeka!!”
Cuma ekstrimis liar yang mau
meracuni merdeka seperti kamu!
Apa kamu pernah mencetuskan di
nadiku
semangat merdeka? Itu palsu
karena aku digelangi rantai
pembunuh
Taku dimerdekakanmu dalam batas
horizontal dan bukan vertikal yang rumit,
menembus jantung merdekaku sendiri
Apa itu merdeka?
Sebuah kebebasan?!
Apa itu dimerdekakan?!
Sebuah kebebasan dengan naunganmu?!
24 Agustus 2002
TUTUP BUKU
Malam membimbing kabut untuk tutupi
pandangan,
tapi telingaku masih mendengar
desing peluru
Tirai menuntun ruang untuk
membatasi lajuku
tapi hatiku masih bisa terbang
seenaknya
bersenda gurau dengan kata asing,
“KEMATIAN SEORANG MANUSIA”
Lalu semua usai...
Tutup buku dan pejamkan mata.
Hentikan nafas, sumpal telingamu.
Butakan hati...
24 Agustus 2002
BASAH[6]
Kelana terbang di dalam pekat
butir air mata turun
remang menguasai
tulangku menggigil
mata diberati cakrawala
semua hening
hanya air mata yang teratur
mengetuki langkah-langkah,
ceruk di depan
Tubuh ini kuyup,
banjir menggenangi jiwa
cahaya remang menembus jantung
pekuburan kanan gelap, kiri gulita
bayangan meninggi
imaji membisiki, hampa
gemeretak mutiaraku
Persimpangan, menikung kanan
lorong lurus menepi di antara bunyi
air mata
duka begitu
hitam meracuni dan ruh bersuci
di sini, Tuhan memberi air mata
Mata terpejam ditutupi air mata
di antara remang, itu milikku
yang tersisa... terserak
memang hanya aku
basah...
SEBELUM AKHIR
Dari sini semua akan berjalan
sendiri-sendiri
Tak ada cinta yang hanya berupa
pujian
dari sini semua lain,
juga nilai-nilai hakikat
Ini adalah waktu lampau
besok adalah masa depan
Dari sini semua jelas, juga
harga-harga dunia
Dari sini ada perpisahan, dan
semuanya tutup
sebelum akhir
sebelum akhir
sebelum akhir...
HARI AIR MATA[7]
Minum dan resapkan tangis ini
kemarin petir menyambar, khawatir
ia selipkan sebuah ketakutan
Cangkir ini masih kosong, isi
dengan air mataku!
Tak akan kering, mata air masih
luas
Alas gelas ini retak, jangan
pecahkan
ikuti gambar indah ini, jangan
tersesat
aku jatuh hingga luka tak terukur!
Ah, dia menangis menatapku
aku diikat ketakutan, kaki-tanganku
pecah berkeping
cangkirnya pecah... ah, air mata
ini tumpah...
membusuk ke tanah! Cepat, kemasi
sisanya...
Bingkai ujung nilai di pojok mata
ini!
Adakah nilai-nilai penting? Aku
meledak
di sini cangkir pecah... dan air
mata
tumpah.
hari ini, sungguh!
DIAM
Bibir-bibir rapat, hening
cuma hati yang berteriak lantang
ada beban menyangga lidah
begitu berat dan hidup turun
derajat
jadi dipecah oleh palu keheningan
di situ kepalsuan terbunuh
kejujuran
kejam tapi hidup tetap bergulir
diam itu kejujuran tertinggi
bilik hati mengecup kehampaan
kekasih
jangan, biarkan bibir terkatup
itu awal keindahan jiwa
Kata-kata itu pisau tajam yang
melukai
juga tiang yang bersikap angkuh.
Dingin.
Dan ini jalan lurus yang terbentang
biar saja ada hujan menggenangi
Bibir-bibir bosan bicar alagi
dan kabut musuh hadir dengan cepat.
Ini puncaknya,
bibir-bibir tanggalkan kebesarannya
hanya diam,
diam seribu bahasa
21.05.2002
[1]
Sajak ini berkaitan erat dengan sajak “Hari Air Mata”. Ditulis saat Ujian Akhir
Sekolah SMP. Kupikir ketika itu aku seperti ulat yang masuk ke dalam kepompong.
Khawatir menjelang hari depan. SMA itu bagaimana…
[2] Sajak menciptakan sajak ini saat melihat ledakan salju yang menggumpal di antara
langit biru (di sebuah foto). Membayangkan jika berada di dekat sana, mengagumi ledakan
itu tiba.
[3]
Saat-saat ini, saya kehilangan kemampuan buat menulis sajak! Ah, dalam
kebingungan itu, saya ciptakan sajak ini. Hmmm, mencipta dalam kekosongan.
[4] Imajinasiku jika aku bisa
datang ke Negeri Dongeng, negerinya Oki dan Nirmala.
[5] Versi lainnya, tertulis dalam buku
lain:
HARI KESEBELAS
Pemberi semangatku, aku terlahir kembali
kuhirup lagi udaraku, udara kebebasan
imajiku mengalir melintas waktu suram
berkat filosofi sayap-sayap patah yang terentang
Kunikmati lagi indah terikku,
tidak lagi di kungkungan jeruji hitam
tapi aku tetap butuh lindunganmu
di sini, Tuhan....
Hari kesebelas, 25 Juni 2002
[6] Ditulis saat pulang dari study
tour SMP ke Jakarta.
Ini perjalanan spiritual pertama mungkin. Pulang ke rumah jalan kaki dari SMP
yang jaraknya dekat sih, tapi gelap banget, jam tiga sampai jam empat pagi, dan
melalui kuburan yang seperti mengepulkan asap, aslinya kabut, dan melewatinya
saat hujan basah-basahan.
[7] versi lainnya ada dalam sajak 2007.
Saat menulis sajak ini, sebenarnya ceritanya begini: ujian akhir sekolah SMP,
dan saat itu Matematika yang susah banget. So, saya melihat wajah-wajah pucat mereka
dan diri sendiri.
No comments:
Post a Comment