Sekarang, tibalah di tahun 2003. Hmm, sebenarnya tahun ini aku membuat sajak yang kukumpulkan di sebuah buku tulis warna ungu yang kuberi judul “ZINDY UNGU”. Akan tetapi, saat aku membongkar kamar dan mengecek sajak-sajak, aku inget buku ini pernah dipinjem temen laki-lakiku. He he he, di sana banyak sajak cinta soalnya ^_^
Daripada memikirkan sajak-sajak di buku tersebut, mending membaca sajak-sajak yang berhasil kukumpulkan sepanjang tahun ini. Ada beberapa yang melekat di cerita-cerita yang kubuat. Kucantumkan sajak adikku (Robi) lagi di sini
Pembagian sajak dalam kumpulan 2003
ini kubagi sebagai berikut:
- Sajak 1—9 diciptakan kira-kira pada akhir 2002 dan awal 2003, tetapi bentuknya sudah berbeda dengan yang kubuat pada 2002. Jadi, kumasukkan ke sajak 2003.
- Sajak 10—24 adalah sajak yang benar-benar kubuat pada 2003 (ada buktinya, maksudnya ^__^) dan ini diciptakan setelah masa cerita “Di Bawah Matahari” selesai (Juli 2003).
Daftar sajak 2003:
01. (semua
telah usai, di antara…)
02. Mata
Ingin Teriak
03. Dendam
Bulan Ini
04. Mati
05. Kalau
Hati Mau Bicara
06. Kalau
Gunting Mau Bicara
07. Seperti
Manusia
08. Resah
09. Garis
Harapan
10. Fitrah
11. Dalam
Hidup (Robi)
12. (waktu
menghilang, tapi aku tetap ada…)
13. (Dunia
itu permainan dan senda gurau…)
14. (Mungkinkah
kita bisa bertahan…)
15. (Ketika
sesuatu yang melangut menguasai,…)
16. (Biduk
lelah mengarungi laut…)
17. (Ketika
cinta melipat waktu…)
18. (Di
saat terakhirpun,…)
19. Jiwa
Beristirah
20. Titik
Terakhir
21. (“Lihatlah
bulan, kekasih…)
22. (Tidak
ada yang semisal titik ini, begitu mengharu…)
23. (“Aku
adalah kaca yang buram…)
24. (“Laki-laki,
akhirnya waktu penentuan itu tiba…)
Semua telah usai, di antara
seulas senyum yang tercipta indah
dan
setitik air mata dari yang terindah
jiwa
Kudapati sisa wujud tercipta
dari luka perih yang tetap
menghantui
di sela bayang-bayang raksasamu
menatapku teduh
MATA INGIN TERIAK
Tubuhmu tak bisa terwujud di sini
---tak ada yang bisa bersinggah
menikmati indah-mu---
Mataku teriak, “ini tak adil!”
DENDAM BULAN INI
Cuma sekilas tampak jalur kepadamu
yang indah di bawah naungan langit
teduh
sayang… rindu ini berubah jadi
dendam
bukan padamu, tapi pada seonggok
jasad bernama “aku”!!
Kenapa tak kusentuh dinding
pembatas,
kurobek lalu menjamah kepekaanmu?
MATI
Raunganku liar saat golokmu terayun
Dingin… tapi semuanya berakhir
Buatku dan kamu
Sebatas pandangan maya
Buatku.
Banyak hal yang berbeda sejak hal
itu terjadi, juga setiap langkah bumi.
Tapi itulah… hal itu tak akan bisa
menindas setiap penjuru kita!!
KALAU HATI MAU BICARA
Di sayup teriakmu, aku terlempar...
diam
bukan untuk membasuh luka itu walau
terlipat dan tertusuk rasa yang
menajam
teriris oleh kebisuan dan darah.
Harusnya aku berontak padamu dan
berbalik
tapi bukan itu, biar hati yang
membunuh amarahmu
Kalau hati mau bicara,
dia pasti mau dan tahu maksud
diamku
bukan menentangmu
(36_66)
KALAU GUNTING MAU BICARA
Di sayup teriakmu, aku terlempar…
marah
Terlipat dan tertusuk gunting yang
menajam
Teriris oleh kebisuan dan darah…
Harusnya dia berontak padamu dan
berbalik,
Menghujam ke jantung dan membunuh
amarah itu.
Kalau gunting mau bicara,
Dia pasti tahu maksud diamku
Bukan menentangmu
SEPERTI MANUSIA
Ada udara, aku tak bernafas
Ada ruh, aku tak berjiwa
Ada kaki, aku tak berjalan
mati dalam hidup
seperti manusia saja.
RESAH
Datang pagi menggigit nyaliku
merobek asa dan menggigilkan
sekujur mentalku
Siang ini dan selalu
akan datang
bentakan dan cacian
hukuman militer
Tapi Tuhan
Mohon aku bisa menghancurkan
tembok resah ini
Segera sebelum besok!
GARIS HARAPAN
Dalam hati kuterhibur bila semuanya berakhir di sisimu selalu
yang meneduhkan setiap jerat, meniadakan kehancuran yang mengisi selalu rongga
jiwa yang kosong, hanya hampa.
Di sisimu aku tegak pada bulatan air mata dan garis senyum
pahit di tengah cercaan dan lengkingan nyaring tanpa pernah terhenti hingga
saat itu.
Saat itu, saat terakhir pembantaian.
Dan saat itu kuharap kau benar-benar ada di sisi sebuah ruang
jiwa yang kusebut “AKU” walaupun rasanya sulit menjamah realitas yang
menjauhkanmu, aku tetap menjaga eksistensiku sebagai “penderita” sementara
untuk menjadi suatu hal yang disebut “keunggulan” pada saatnya.
Dan saat ini di antara bising itu kuharap masih ada butiran
air matamu untuk tahu seberapa rapuhku atasmu, dan seberapa jauh eksistensi
cinta yang kausebut menaungi atas dirimu dan Ku.
Kita lihat saja, pada saatnya nanti siapa yang mengungguli:
Aku atau kamu!!
FITRAH
Hanya engkau yang tahu
seperti apa aku
bukan logam mulia
bukan orang suci.
Hanya engkau yang bisa
menolong dari waktu
yang membunuh...
DALAM HIDUP
(Robi)
Dalam hidup...
tinta-tinta bicara memberitahu
tentang dunia yang belum kumiliki
tentang indah cinta diselimuti maut
tentang kesepian yang menjadi teman
dan musuh
tentang kita yang mulai hilang
Tinggal aku sendiri
kehilangan
di sudut relung yang gelap
menunggu saatku tiba
Waktu
menghilang, tapi aku tetap ada
karena
tempat terindah adalah di sini
bersama
orang-orang yang kucintai
melewatkan
semua kisah
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”[1])
Dunia
itu permainan dan senda gurau
hanya
satu ketukan
Hidup
itu bukan tak bersayap
dan
mati itu melepas nafas dari pasang-surutnya
menghadap-Nya
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
Mungkinkah
kita bisa bertahan
dalam
dunia yang setiap sudutnya
berputar
ini?
Di
dalam kabut tebal yang dingin,
aku
pun tidak menemuimu
Bayanganmu
hitam dan
tak
pernah bisa kusentuh lagi.
Inikah
mimpi burukku?
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
Ketika
sesuatu yang melangut menguasai,
masihkah
aku pantas di tempat ini
dan
membuatmu tidak bisa menghirup nafas bahagia?
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
Biduk
lelah mengarungi laut
yang
larut mengentalkan cinta
dan
waktu yang menyatukan
hati
yang bertaut jarak
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
Ketika
cinta melipat waktu
pada
nafas dua jiwa, semua hening
bersujud
mencitrakan gerak-gerik abstrak pesonanya
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
Di
saat terakhirpun,
aku
tidak menemukanmu
(tercantum
dalam cerita “Perhentian Terakhir”)
JIWA BERISTIRAH
Jangan ratapi aku, aku masih yang
dulu
Tuliskan untuk diriku, lambang
cinta dan damai
Jangan usik udara, biarkan dia buka
hatimu
memuja keabadian, sebuah cinta yang
kita kecap
Pejamkanlah matamu dan bisikkan
jiwamu kini layu, dia ingin
beristirah
Jangan bicara waktu, biar sunyi
merebak
hingga yang tersisa, hanya engkau
dan aku
(tercantum dalam cerita “Di
Bawah Matahari”)
TITIK TERAKHIR
Katamu terulang di detak jantungku
kembali mengendap di titik terdalam
jaringan cintaku
Ini titik terakhir
harus berpisah walau berat
(tercantum
dalam cerita “Di Bawah Matahari”)
“Lihatlah
bulan, kekasih.
Bahwasanya
aku adalah penjaga yang setia menunggu malam-malam
yang
mempermainkan perasaan manusia.”
Laki-laki
membiarkan senja turun, mempersilakan perempuan menciumnya
terakhir
kali bagi mereka
“Jika
kau tiba kelak, biarkan aku yang akan membunuhmu!”
“Tidak
akan kuizinkan seorangpun membunuhku karena aku tahu
cuma
kau yang pantas mencabut nyawaku. Cuma kau.”
Lalu,
bersama hembusan angin senja, Laki-laki perlahan melepas pelukan, menghilang.
Dia,
manusia yang hilang tertiup angin.
(tercantum
dalam cerita “Romansa”)
Tidak
ada yang semisal titik ini, begitu mengharu
Ketika
satu setengah masa lalu terdampar
Di
titik ini, sungguh tak pernah diduga
Ini
titik saat kehilangan sentuhan
Ketika
dunia nyaris tak terbentuk lagi
Dan
telah berubah banyak dari
yang
dulu
Ketika
dua hati bergerak teratur berputar menuju titik
yang
pernah ditiupkan sebuah dzat yang disebut cinta
Perempuan,
pernahkah ketakutan kita berubah sebentar,
setitik
saja untuk memberikan seulas senyuman untuk dunia?
Untuk
menghangatkan makna cinta yang dulu pernah singgah antara kau dan aku?
(tercantum
dalam cerita “Romansa”)
“Aku
adalah kaca yang buram
Seberapapun
kumelangkah
Tak
pernah kutemui hatiku
Cuma
seorang yang kesepian
karena
jiwanya sendiri...”
(tercantum
dalam cerita “Romansa”)
“Laki-laki,
akhirnya waktu penentuan itu tiba. Aku terlalu lama menanti saat ini. Saat yang
merancukan aku dan kau.”
“Aku
dan kamu adalah dua mata pedang yang berbeda.”
Laki-laki
rebah, matanya terpejam sementara malam menjadi langut sekali.
“Bunuhlah
aku, perempuan ~ karena ini hal terindah yang akan kita lakukan bersama.
Mencari Tuhan kita.”
Lalu,
tikaman itu begitu teduh
Pedang
itu menancap terlalu dalam
(tercantum
dalam cerita “Romansa”)
[1] Epilog, “AKU JATUH CINTA”, dibuat
pada akhir Oktober 2003 dalam waktu tiga hari (22—24 Oktober). Firman mati di
sini.
No comments:
Post a Comment