Saturday, July 12, 2014

Kumpulan Sajak Fitra Firdaus Aden Tahun 2003




Sekarang, tibalah di tahun 2003. Hmm, sebenarnya tahun ini aku membuat sajak yang kukumpulkan di sebuah buku tulis warna ungu yang kuberi judul “ZINDY UNGU”. Akan tetapi, saat aku membongkar kamar dan mengecek sajak-sajak, aku inget buku ini pernah dipinjem temen laki-lakiku. He he he, di sana banyak sajak cinta soalnya ^_^

Daripada memikirkan sajak-sajak di buku tersebut, mending membaca sajak-sajak yang berhasil kukumpulkan sepanjang tahun ini. Ada beberapa yang melekat di cerita-cerita yang kubuat. Kucantumkan sajak adikku (Robi) lagi di sini

Pembagian sajak dalam kumpulan 2003 ini kubagi sebagai berikut:
  1. Sajak 1—9 diciptakan kira-kira pada akhir 2002 dan awal 2003, tetapi bentuknya sudah berbeda dengan yang kubuat pada 2002. Jadi, kumasukkan ke sajak 2003.
  2. Sajak 10—24 adalah sajak yang benar-benar kubuat pada 2003 (ada buktinya, maksudnya ^__^) dan ini diciptakan setelah masa cerita “Di Bawah Matahari” selesai (Juli 2003).

Daftar sajak 2003:
01.    (semua telah usai, di antara…)
02.    Mata Ingin Teriak
03.    Dendam Bulan Ini
04.    Mati
05.    Kalau Hati Mau Bicara
06.    Kalau Gunting Mau Bicara
07.    Seperti Manusia
08.    Resah
09.    Garis Harapan
10.    Fitrah
11.    Dalam Hidup (Robi)
12.    (waktu menghilang, tapi aku tetap ada…)
13.    (Dunia itu permainan dan senda gurau…)
14.    (Mungkinkah kita bisa bertahan…)
15.    (Ketika sesuatu yang melangut menguasai,…)
16.    (Biduk lelah mengarungi laut…)
17.    (Ketika cinta melipat waktu…)
18.    (Di saat terakhirpun,…)
19.    Jiwa Beristirah
20.    Titik Terakhir
21.    (“Lihatlah bulan, kekasih…)
22.    (Tidak ada yang semisal titik ini, begitu mengharu…)
23.    (“Aku adalah kaca yang buram…)
24.    (“Laki-laki, akhirnya waktu penentuan itu tiba…)







Semua telah usai, di antara
seulas senyum yang tercipta indah dan
setitik air mata dari yang terindah jiwa
Kudapati sisa wujud tercipta
dari luka perih yang tetap menghantui
di sela bayang-bayang raksasamu
menatapku teduh





MATA INGIN TERIAK

Tubuhmu tak bisa terwujud di sini
---tak ada yang bisa bersinggah menikmati indah-mu---
Mataku teriak, “ini tak adil!”





DENDAM BULAN INI

Cuma sekilas tampak jalur kepadamu
yang indah di bawah naungan langit teduh
sayang… rindu ini berubah jadi dendam
bukan padamu, tapi pada seonggok jasad bernama “aku”!!
Kenapa tak kusentuh dinding pembatas,
kurobek lalu menjamah kepekaanmu?





MATI

Raunganku liar saat golokmu terayun
Dingin… tapi semuanya berakhir

Buatku dan kamu
Sebatas pandangan maya
Buatku.

Banyak hal yang berbeda sejak hal itu terjadi, juga setiap langkah bumi.
Tapi itulah… hal itu tak akan bisa menindas setiap penjuru kita!!









KALAU HATI MAU BICARA

Di sayup teriakmu, aku terlempar... diam
bukan untuk membasuh luka itu walau
terlipat dan tertusuk rasa yang menajam
teriris oleh kebisuan dan darah.

Harusnya aku berontak padamu dan berbalik
tapi bukan itu, biar hati yang membunuh amarahmu

Kalau hati mau bicara,
dia pasti mau dan tahu maksud diamku
bukan menentangmu

(36_66)





KALAU GUNTING MAU BICARA

Di sayup teriakmu, aku terlempar… marah
Terlipat dan tertusuk gunting yang menajam
Teriris oleh kebisuan dan darah…
Harusnya dia berontak padamu dan berbalik,
Menghujam ke jantung dan membunuh amarah itu.

Kalau gunting mau bicara,
Dia pasti tahu maksud diamku
Bukan menentangmu






SEPERTI MANUSIA

Ada udara, aku tak bernafas
Ada ruh, aku tak berjiwa
Ada kaki, aku tak berjalan
mati dalam hidup
seperti manusia saja.




RESAH

Datang pagi menggigit nyaliku
merobek asa dan menggigilkan
sekujur mentalku
Siang ini dan selalu
akan datang
bentakan dan cacian
hukuman militer

Tapi Tuhan
Mohon aku bisa menghancurkan
tembok resah ini
Segera sebelum besok!





GARIS HARAPAN

Dalam hati kuterhibur bila semuanya berakhir di sisimu selalu yang meneduhkan setiap jerat, meniadakan kehancuran yang mengisi selalu rongga jiwa yang kosong, hanya hampa.
Di sisimu aku tegak pada bulatan air mata dan garis senyum pahit di tengah cercaan dan lengkingan nyaring tanpa pernah terhenti hingga saat itu.
Saat itu, saat terakhir pembantaian.
Dan saat itu kuharap kau benar-benar ada di sisi sebuah ruang jiwa yang kusebut “AKU” walaupun rasanya sulit menjamah realitas yang menjauhkanmu, aku tetap menjaga eksistensiku sebagai “penderita” sementara untuk menjadi suatu hal yang disebut “keunggulan” pada saatnya.
Dan saat ini di antara bising itu kuharap masih ada butiran air matamu untuk tahu seberapa rapuhku atasmu, dan seberapa jauh eksistensi cinta yang kausebut menaungi atas dirimu dan Ku.
Kita lihat saja, pada saatnya nanti siapa yang mengungguli:
Aku atau kamu!!





FITRAH

Hanya engkau yang tahu
seperti apa aku
bukan logam mulia
bukan orang suci.

Hanya engkau yang bisa
menolong dari waktu
yang membunuh...






DALAM HIDUP
(Robi)

Dalam hidup...
tinta-tinta bicara memberitahu
tentang dunia yang belum kumiliki
tentang indah cinta diselimuti maut
tentang kesepian yang menjadi teman dan musuh
tentang kita yang mulai hilang

Tinggal aku sendiri
kehilangan
di sudut relung yang gelap
menunggu saatku tiba







Waktu menghilang, tapi aku tetap ada
karena tempat terindah adalah di sini
bersama orang-orang yang kucintai
melewatkan semua kisah

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir[1])







Dunia itu permainan dan senda gurau
hanya satu ketukan
Hidup itu bukan tak bersayap
dan mati itu melepas nafas dari pasang-surutnya
menghadap-Nya

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)




Mungkinkah kita bisa bertahan
dalam dunia yang setiap sudutnya
berputar ini?

Di dalam kabut tebal yang dingin,
aku pun tidak menemuimu

Bayanganmu hitam dan
tak pernah bisa kusentuh lagi.
Inikah mimpi burukku?

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)






Ketika sesuatu yang melangut menguasai,
masihkah aku pantas di tempat ini
dan membuatmu tidak bisa menghirup nafas bahagia?

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)




Biduk lelah mengarungi laut
yang larut mengentalkan cinta
dan waktu yang menyatukan
hati yang bertaut jarak

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)




Ketika cinta melipat waktu
pada nafas dua jiwa, semua hening
bersujud mencitrakan gerak-gerik abstrak pesonanya

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)




Di saat terakhirpun,
aku tidak menemukanmu

(tercantum dalam cerita “Perhentian Terakhir”)







JIWA BERISTIRAH

Jangan ratapi aku, aku masih yang dulu
Tuliskan untuk diriku, lambang cinta dan damai
Jangan usik udara, biarkan dia buka hatimu
memuja keabadian, sebuah cinta yang kita kecap

Pejamkanlah matamu dan bisikkan
jiwamu kini layu, dia ingin beristirah

Jangan bicara waktu, biar sunyi merebak
hingga yang tersisa, hanya engkau dan aku

(tercantum dalam cerita “Di Bawah Matahari”)






TITIK TERAKHIR

Katamu terulang di detak jantungku
kembali mengendap di titik terdalam
jaringan cintaku

Ini titik terakhir
harus berpisah walau berat

(tercantum dalam cerita “Di Bawah Matahari”)






“Lihatlah bulan, kekasih.
Bahwasanya aku adalah penjaga yang setia menunggu malam-malam
yang mempermainkan perasaan manusia.”

Laki-laki membiarkan senja turun, mempersilakan perempuan menciumnya
terakhir kali bagi mereka

“Jika kau tiba kelak, biarkan aku yang akan membunuhmu!”
“Tidak akan kuizinkan seorangpun membunuhku karena aku tahu
cuma kau yang pantas mencabut nyawaku. Cuma kau.”

Lalu, bersama hembusan angin senja, Laki-laki perlahan melepas pelukan, menghilang.
Dia, manusia yang hilang tertiup angin.

(tercantum dalam cerita “Romansa”)






Tidak ada yang semisal titik ini, begitu mengharu
Ketika satu setengah masa lalu terdampar
Di titik ini, sungguh tak pernah diduga

Ini titik saat kehilangan sentuhan
Ketika dunia nyaris tak terbentuk lagi
Dan telah berubah banyak dari
yang dulu

Ketika dua hati bergerak teratur berputar menuju titik
yang pernah ditiupkan sebuah dzat yang disebut cinta

Perempuan, pernahkah ketakutan kita berubah sebentar,
setitik saja untuk memberikan seulas senyuman untuk dunia?
Untuk menghangatkan makna cinta yang dulu pernah singgah antara kau dan aku?

(tercantum dalam cerita “Romansa”)







“Aku adalah kaca yang buram
Seberapapun kumelangkah
Tak pernah kutemui hatiku
Cuma seorang yang kesepian
karena jiwanya sendiri...”

(tercantum dalam cerita “Romansa”)





“Laki-laki, akhirnya waktu penentuan itu tiba. Aku terlalu lama menanti saat ini. Saat yang merancukan aku dan kau.”

“Aku dan kamu adalah dua mata pedang yang berbeda.”
Laki-laki rebah, matanya terpejam sementara malam menjadi langut sekali.

“Bunuhlah aku, perempuan ~ karena ini hal terindah yang akan kita lakukan bersama. Mencari Tuhan kita.”

Lalu, tikaman itu begitu teduh
Pedang itu menancap terlalu dalam

(tercantum dalam cerita “Romansa”)





[1] Epilog, “AKU JATUH CINTA”, dibuat pada akhir Oktober 2003 dalam waktu tiga hari (22—24 Oktober). Firman mati di sini.

No comments:

Post a Comment