Tahun 2005, aku membuat dua novel pribadi, HITAM dan PUTIH (tulisan terakhir di SMA), dan Imperfect Season (tulisan pertama di kuliah), tapi
keduanya hmmm, masih sangat remaja meski berada di dua kutub yang berbeda.
Mungkin karena dalam masa transisi, aku hanya menemukan beberapa sajak tahun
itu, meski sebenarnya aku cukup banyak membuat sajak (di beberapa buku tulis
teman-teman SMAku sepertinya masih ada kalau mau dilacak). Sajak-sajak di bawah
ini sama sekali tidak menarik, kupikir. Masih seputar “sakit hati” yang remaja
banget, meski “Jari Tengah” sedikit ada unsur 'ehm-ehm'-nya.
Daftar sajak 2005:
1. Perempuan
Tersayang
2. White
Day
3. Doll
4. Kidnapping
5. (Api
kecil yang perlahan membesar, membakar…)
6. (Perlahan
kaurenggut bebasku…)
7. (Bagaimana
kau datang, kemudian menyalakan lenteraku?...)
8. Himpunan
9. Sajak
Sepanjang Malam
10. Fake
Rebirth
11. Jari
Tengah
12. Bewilderment
13. Khayal
Terlarang
14. Kedai
Teh dan Anxious
Perempuan Tersayang
Telah tiba waktu,
Kuselimuti daun yang berserak
Memungut buah matang yang tak kau
suka lagi
Telah datang saat,
Kubungkus cinta yang
bergelimpangan,
Memberikannya padamu
Perempuanku tersayang,
Kuberikan pada kedua tanganmu
Yang berdarah-darah,
Sebuah kepingan yang terakhir
Untuk menyematkannya
dalam cinta tiada akhir…
White Day
Terlalu banyak waktu terlewat
Tetapi dirimu tak pernah tergapai.
Entah aku ada di mana,
nyawaku tetap terbang ke arahmu
Inikah hari putih itu?
DOLL
Cinta berubah dendam,
Dendam menjadi hangat,
Hangat memupuk cinta
Kembali terlahir
Lagi dan lagi…
Memucat dalam mimpi
Genggam lagi
Dan buang lagi
Tetap saja cinta yan tercipta
Bertemu kembali
Berpisah kembali
Selalu cinta yang kutemukan di
bibirmu
KIDNAPPING
Nanti kalau sudah tiba waktuku
bergerak,
Akan kuledakkan kota tempatmu bersembunyi
Dan bila itu tak cukup, ku akan
menyusup ke tempatmu berbaring:
Menculikmu!
Api kecil yang perlahan membesar,
membakar
Dosa yang pernah terlupakan
Dari sisi kiri kehidupan
Perlahan kaurenggut bebasku
Satu demi satu mencabut tawa
ceriaku
Sedikit demi sedikit kaubernyanyi
di atas deritaku
Selangkah demi selangkah
kauporak-porandakan cinta yang kubangun
Tapi, suatu saat akan tiba waktunya
Ketika jemarimu terlepas dari
genggamanku
Kau yang berlari kepadaku…
tertatih.[1]
Bagaimana kau datang, kemudian
menyalakan lenteraku?
Padahal sudah begitu gelap,
Dan aku pernah menggelapkanmu.
Siapa sesungguhnya kamu[2]?
HIMPUNAN
Kemanapun malam kita dirampas paksa
oleh matahari yang tak kunjung menangis, dengar saja bisik yang terucap dari
bibir bekuku: “tak akan kulepaskan bayangan yang semakin pudar ini!”
Karena kita masih himpunan yang tak
mudah dikekang-dipatahkan.
Tiada yang berani menyisipkan pahit
di dalamnya!
Sajak Sepanjang Malam
Terengah, mengendap-endap di
kegelapan
Mata ini nanar sayu mencari
Keping-keping surga porak-poranda
Yang kauhempas kemarin malam
Getir, bibir gemetar, namamu
kusebut
Sepanjang sumpah serapah
yang mengalir tanpa henti
Ini kedukaan siapa?
Setiap kumenyelinap,
Semakin kau tenggelam
Setiap kutelikung,
Semakin kau merapat pada pekat
Ini kebodohan siapa?
Berlari sejauh kaki masih mengetuk
tanah
Berteriak tak bosan
selayak sang penyair yang terbuang…
Berterbangan, hati ini adalah hati
busuk
yang kau robek-robek dengan taring
Lelah, letih, dan menyusut
Kuselayak mayat hidup saja
Kekasih tersayang,
Mimpi ini angan kosong
Sang pengelana yang tersesat…
FAKE REBIRTH
Kelam, lentera telah padam
Letih bersinar
Dalam naungan bulan redup
Pekat menutup
Jalan cerita patah di tengah jalan
Dian tubuh tumpah hilang jalan
Tak terbangkitkan dari mimpi buruk
Tak menghitung hari-hari depan
Lebih percaya matahari masih tunduk
Di perulangan penciptaan
Malam melesat, cahaya memberantak
Kata-kata terlambat, hati juga
memberontak
Doa pada bulan perak adalah guyonan
Apalagi menceburkan diri pada
matahari
Just a fake rebirth…
JARI TENGAH
“Morning, My Dear”[3]
tidur tak nyenyak
oleh bisikan menghentak
hati yang tergeletak
saat wajahmu tergelak
“Guten Tag, reizendes mädchen”
janjimu pergi melayang
begitu dia menjelang
Begitu mudah kuterbuang
pembicaraan masih terngiang
“Konbawa, boku no hime”
saat kutuang kopi,
kuberdiri sendiri
Kusimak kau berhenti,
memeluk kekasih hati
“Bonne nuit […]”
Ciuman hangatmu,
membuat merah bersemu
Berdiri terpaku,
di depan mataku
“Selamat pagi lagi, wahai kau yang kebetulan
lelap di ranjangku”
tidur tak nyenyak lagi
oleh bisikan menghentak lagi
hati yang tergeletak lagi
saat wajahmu tergelak lagi
Perlahan…
Perlahan…
Perlahan…
Tapi pasti
Jari tengah ini terangkat
BEWILDERMENT
Sejenak kubersembunyi,
Menulis sebuah puisi
Sejenak kumendesah,
Menyebut nama tak terarah
Langit maha sempurna
Tapi aku bukan Langit
Kalau kau kembali,
Kutak suka menyebut kata kalau
Hanya mata yang memejam,
Yang meniriskan jalan cerita
KHAYAL TERLARANG
Kunodai kau dengan cinta yang
ternoda,
Bermain dengan noda,
betapa sering kulakukan
di hari-hari panjang tanpamu
Cinta, berada dalam pekat awan
Senantiasa memayungi kita berdua
Bersalahkah
kumembawamu ke jalan yang salah,
atau
lebih bersalah lagi
jika ku membiarkanmu terbang
pada dia yang tak pernah salah?
Milikku…
Milikku…
Milikku…
Dan mata yang jauh itu pun,
Merampasmu dengan tidak hormat
KEDAI TEH DAN ANXIOUS
Kuhirup aroma teh senja ini, berharap semua kenangan indah
tentang dia, tentangmu tetap tinggal di hatiku tanpa perlu aku bergelut di
rantainya. Lalu, kau datang pada acara rutin minum tehku ini.
Ah, kedai ini dan kursi panjang tempat kau bercerita
kata-kata rahasia dulu…
aku pernah memandangnya sendirian ketika ia kosong, hampa,
tanpa ada seorangpun yang duduk di sebelahku sampai tiba saat aku melihatmu di
sini lagi, saat ini. Saat ini.
Langit di luar akan terus indah dan kau tidak akan bisa
menemukanku di sana
meski telah kautajamkan penglihatanmu.
Aku tersenyum, mereguk teh di antara luka dan perih.
Kaurapatkan tubuhmu, menengadah langit luas. Berharap masih ada di sana, Anxious?
Kureguk lagi tehku, tersenyum lagi. Melihatmu di depan
tersenyum pula. Sangat manis. Andai aku bisa memahami makna senyummu yang
sekarang…
Kita. Aku di sini dan kau di sana bersama kekasihmu.
[1] Sajak ini diciptakan tokoh bernama
Nawa Larantuka (dalam cerita “Imperfect Season”) untuk Adinda Kiris Salsabila,
adik kelasnya, yang memutuskannya. Nawa adalah sahabat dekat Awal, tokoh utama
cerita tersebut. Sajak ini terpengaruh lirik lagu “Anata no Tame ni”-nya
L’arc~en~Ciel:
anata wa sukoshi zutsu
ubatta jiyuu
mou itami o kanjinai
ushinau koto nimo
[2] Sajak ini diciptakan tokoh Ryesha
Arshasyahadia dalam cerita “Imperfect Season”) untuk Sahaja Awal, kakak
kelasnya. Kedua tokoh ini adalah tokoh utama cerita tersebut.
[3] Pergerakan waktu dan pergerakan
panggilan. Dari yang sayang sekali hingga menjadi sesuatu yang tidak dikenal
dan tidak diakui. Alih-alih lebih buruk, terlihat semakin “membara”. Aslinya
saya nggak tahu panggilan “sayang” dalam bahasa Jerman dan Perancis, so
terciptalah gradasi tersebut.
No comments:
Post a Comment